Khamis, 29 Januari 2009

Cerita dan kisah menarik

Wa’ilah Isteri Nabi Luth Mati Dalam Kesesatan

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth menjadi perumpamaan bagi orang-orang yang ingkar. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang soleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri itu berkhidmat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (seksaan) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya).” Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”
(At-Tahrim: 10)
Dalam perjalanan hidup seorang nabi, apabila ia mendapati kebenaran yang datang dari Allah, keluarga terdekatnyalah yang terutama mesti ia seru terlebih dahulu. Orang yang paling dekat dengannya tentu saja memperoleh kesempatan paling besar untuk menerima seruannya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan isteri Nuh dan anaknya. Meskipun keduanya adalah orang-orang yang paling dekat dengan beliau, mereka termasuk golongan yang ingkar akan kebenaran Allah dengan enggan beriman.

Begitu pula wanita yang satu ini, isteri salah seorang dari nabi Allah, yakni isteri Luth as. Luth adalah seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada kaumnya di Sadom, sebuah negeri besar yang mempunyai banyak kota, sedangkan penduduknya tenggelam dalam arus kemaksiatan. Rakyat Negeri Sadom ketika itu berserikat dan bahu-membahu dalam perbuatan dosa yang mengaibkan.

Nabi Luth diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya itu, termasuk kepada isterinya sendiri. Berkata Nabi Luth kepada mereka seraya mengingatkan: “Mengapa kamu melakukan perbuatan tercela itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini sebelummu? Kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”
(Al-A’raf: 80-81)
Memang, kaum Nabi Luth ketika itu berada pada tingkat kebinatangan yang paling rendah, kebejatan akhlak yang paling parah, dan tidak ada manusia seburuk mereka sebelumnya. Mendengar seruan Nabi Luth, seruan seorang nabi Allah yang juga pernah didengar oleh kaum-kaum lain sebelum mereka, rakyat Negeri Sadom merasa terusik kesenangannya. Mereka tidak tinggal diam setelah mendengar seruan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth. Mereka terus berfikir, mencari jalan bagaimana agar Nabi Luth tidak dapat mengumandangkan seruannya kembali. Ketika, mereka tengah duduk berfikir, tiba-tiba datang seorang perempuan tua menghampiri mereka. Sebenarnya, sudah lama perempuan tua itu mendengar rencana kaum Luth itu, dan ia tersenyum bangga mendengar rencana itu.

“Akan kutunjukkan kepada kalian, suatu lubang yang dapat menghalangi seruan Luth,” ujar perempuan tua itu dengan wajah penuh keyakinan.

“Lubang yang mana itu?” tanya mereka dengan keinginan yang penuh harap.

“Tidak akan kukatakan hal itu, kecuali aku mendapat sekeping perak sebagai upahnya,” sahut si perempuan tua.

Tak seorangpun dari keturunan kaum Luth itu yang merasa marah atau hairan mendengar ucapan perempuan tua yang terkenal mata duitan dan sifat halobanya itu. Salah seorang dari mereka memasukkan tangannya ke dalam poketnya; kemudian mengambil sekeping perak dan diberikannya kepada perempuan tua itu. Dengan senyum kemenangan, perempuan tua itu cepat mengambil dan menyembunyikan kepingan perak itu di dadanya.

“Kalian dapat membatalkan seruan Luth melalui isterinya!” Kata perempuan itu kemudian.

Terbelalaklah mata kaum Luth ketika mendengar ucapan itu. Mereka semakin mendekatkan telinga masing-masing ke mulut perempuan penipu itu dengan penuh harapan.

“Bagaimana caranya?” Tanya mereka serentak.

“Kalian harus bekerjasama dengan isteri Luth untuk menghentikan seruannya kepada kalian.”

Dengan kesal, salah seorang dari mereka berteriak. “Kami tidak ada urusan dengan isteri Luth!”

Dengan wajah marah, perempuan tua itu kembali berkata: “Aku lebih mengerti hal itu daripada kalian!”

“Kalau begitu,” sela salah seorang yang lain. “Apa peranan isteri Luth dalam hal ini?”

“Dengar baik-baik. Peranan isteri Luth sama seperti perananku bagi kalian sekarang ini,” jawabnya.

“Jadi, apakah kamu berharap agar isteri Luth dapat menunjuki kami, siapa orang-orang yang dapat memenuhi keinginan kami, sebagaimana yang engkau lakukan kini?” tanya salah seorang dari mereka.

Dengan kedua mata yang bersinar, disertai kegembiraan haiwani, perempuan tua berlalu sambil bergumam, “Ya... ya...”

Isteri Nabi Luth sedang menyelesaikan sebahagian pekerjaannya ketika terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Segera ia berlari, membukakan pintu. Dan seorang perempuan tua tiba-tiba berada di hadapannya. Dengan tergopoh-gapah perempuan tua itu lalu berkata: “Hai, anakku, adakah seteguk air yang dapat menghilangkan dahaga yang kurasakan ini?”

“Silakan masuk dahulu,” jawab Wa’ilah, isteri Nabi Luth, dengan lembut.” Akan kuambilkan air untukmu.”
Perempuan tua itu kemudian duduk menunggu, sementara Wa’ilah masuk ke dapurnya. Tak lama kemudian, Wa’ilah kembali dengan membawa bekas yang penuh berisi air untuk tamunya itu. Dengan lahap, si perempuan tua segera meneguk habis air di bekas tersebut, dan kemudian melepas nafas dengan lega.

“Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan itu kemudian memalingkan wajahnya ke sekeliling rumah yang kecil itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua itu berkata: “Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?”

“Aku tidak sengsara, bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku makan dan minum bersama kedua puteriku,” jawab Wa’ilah.

Perempuan tua penipu itu lebih mendekat kepada isteri Nabi Luth sambil berkata: “Dapatkah ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau rasakan ini disebut makanan atau minuman?”

Wa’ilah terpegun mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh kehairanan, ia kemudian bertanya. “Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?”

Cepat-cepat perempuan tua itu berkata: “Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah kedudukanku seperti ibu saudaramu?” Kemudian ia menyambung lagi. “Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan...? Kamu berparas cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sedari bahawa kamu tidak mempunyai anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila suamimu meninggal dunia?”

Wa’ilah, isteri Nabi Luth, mendengarkan dengan saksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, ucapan itu telah membuatnya terlena sambil merenung atap rumahnya. Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya yang penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.

Ketika perempuan tua itu menghentikan pembicaraannya, isteri Nabi Luth memandang kepadanya sambil berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berfikir, bahkan ia mulai menyambung pembicaraannya dengan berkata: “Hai, anakku, apakah yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri Sadom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?

Sesungguhnya orang-orang di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mahu membantu mereka. Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak ini! Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah kuperolehi. Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah ‘cantik’ yang datang dari kota. Sedangkan kamu... di rumahmu sering datang beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu.

Ya, suamimu yang seruannya diperolok-olok oleh kaum kita. Pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang puterimu menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Bukankah pekerjaan itu amat mudah bagimu? Dengan itu, engkau bersama puteri-puterimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian kehendaki.”

Sambil mengakhiri ucapannya, perempuan tua itu meletakkan dua keping perak di tangan Wa’ilah, dan kemudian segera keluar. Isteri Nabi Luth duduk sambil merenungkan peristiwa yang baru terjadi itu tentang keadaan pekerjaan yang dicadangkan oleh si perempuan tuan. Dan... ia kebingungan sambil berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselit dua keping perak. Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja saranan perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahawa isteri seorang yang mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong kaumnya dalam melakukan kebatilan.

Tiba-tiba datang suara yang membisikkan ke telinganya: “Perempuan tua itu telah menasihatimu. Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. Kamu tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan lagi pekerjaan yang dicadangkan perempuan tua itu sama sekali tidak memberatkanmu. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan tamu-tamu suamimu, Luth. Lekaslah... lekaslah... nanti akan kukatakan... lekas, supaya engkau memperoleh kekayaan dan kenikmatan... Cepatlah...!”

Dan tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: “Baiklah, kuterima...”

“Kalau begitu, selamat kuucapkan kepadamu,” demikian Iblis membisikkan kepadanya.” Sesudah ini engkau akan merasakan kenikmatan di dalam kehidupanmu...”

Nabi Luth kembali kepada penduduk desa yang berada di sekitar Sadom untuk menyerukan kebenaran Ilahi sesuai dengan perintah Allah kepadanya. “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan tercela itu, yang belum pernah diperbuat oleh seorangpun di dunia ini sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.”

Perlawanan penduduk Sadom terhadap dakwah kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth kepada mereka membuat kesedihan dan kedukaan di hati Nabi Luth sendiri. Betapa kaumnya tidak mahu menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka bersih dari perangai yang hina dan merosakkan itu.

Hari demi hari berlalu. Setiap isteri Nabi Luth melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia segera memberi tahu kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang dibawanya sampai kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan membawa sepotong perak seraya berkata: “Jika engkau selalu menolong kami, nescaya engkau akan dapatkan terus sekeping perak, sementara suamimu tidak dapat menyeru kepadanya.” Wajah perempuan tua itu tertawa seperti tawa syaitan, kemudian pergi...

Sementara itu, seruan Nabi Luth kepada kaumnya tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan kesombongan. Mereka tetap selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan mereka terus-menerus melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth memperingatkan akan datangnya seksa Allah atas mereka apabila mereka tidak mahu berhenti dari kesesatannya. Mereka malah menentang Nabi Luth dengan berkata: “Datangkanlah kepada kami azab dari Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” Maka, Nabi Luth pun memohon kepada Allah, agar Allah menolongnya dari kaumnya.

Nabi Luth berdoa: “Ya, Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerosakan itu.”
(Al-Ankabut: 30)
Allah memperkenankan doa Nabi Luth as, dan mengutus Jibril as. untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke Negeri Sadom dengan menyerupai dua orang lelaki yang tampan. “Dia (Luth) merasa susah dan sempit dadanya kerana kedatangan mereka. Dan ia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.”
(Hud: 77)
Nabi Luth as. cemas memikirkan apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui kedatangan tamu lelaki yang berwajah ‘cantik’ di rumahnya. Bagaimana ia dapat mempertahankan dan memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya? Ah, bukankah tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia sendiri, dan kedua puterinya?

Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth itu merupakan kesempatan bagi isterinya untuk menambah kepingan-kepingan perak yang biasa ia perolehi dari si wanita tua. Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada kaumnya untuk memberitahu mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth. Kerana keinginannya yang mendesak, isteri Luth akhirnya memberi isyarat kepada salah seorang puterinya untuk mendekat. Kemudian ia membiisikkan beberapa kalimat ke telinga anak perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang puteri segera keluar rumah untuk memberitahu kaumnya, sebagaimana biasa.

Di tengah-tengah kerumunan orang ramai anak Nabi Luth melihat seorang perempuan tua melambaikan tangan sambil mengisyaratkan panggilan kepadanya. Segera ia mendekati perempuan itu dan memberitahu tentang dua lelaki tampan yang datang ke rumahnya. Perempuan tua itu kemudian menyuruh ia cepat pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri seraya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada berita baru?”

Wajah si perempuan tua menampakkan senyum tipuan sambil berkata: “Kali ini tidak kurang dari empat potong emas harus kuterima.”

Dengan bersemangat kaumnya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?”

Perempuan itu berkata kepada mereka, sementara ia membuka matanya lebar-lebar disertai syaitan. “Kalian akan memperoleh apa yang kalian kehendaki, iaitu dua orang lelaki yang berwajah ‘tampan’.

Dengan wajah buas dan bernafsu, mereka bertanya dengan tidak sabar. “Di mana mereka? Di mana lelaki berwajah ‘tampan’ itu? “Berikan harta kepadaku terlebih dahulu, barulah kuberi tahu kalian!” Katanya.

Sebahagian dari mereka menyahut: “Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah kenyang!” Dan sebahagian yang lain berkata: “Inilah harta untukmu, tetapi cepat katakan, di mana lelaki yang berwajah ‘tampan’ itu?”
Setelah tangannya menggenggam emas, berkatalah perempuan tua itu kepada mereka. “Mereka ada di rumah Luth...”

Hampir-hampir kaumnya tidak mendengar ucapan perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat kemudian, mereka berlumba-lumba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth. Masing-masing ingin memperoleh kepuasan dari dua lelaki ‘tampan’ yang ada di rumah Luth.

Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi Luth tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak. “Bukakan, Luth bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan memecahkannya!”

Isteri Nabi Luth mencuba menemui suaminya yang ternyata telah meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar, sementara ia sendiri mendekati pintu rumahnya yang tertutup dan memisahkan dia dengan sekumpulan kaumnya. Isteri Nabi Luth mengintai dari balik tirai. Hatinya melonjak kegirangan. Sebentar lagi ia bakal memperoleh sepotong perak dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah berlangsung selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin bakal memperoleh pula sepotong emas sebagai bonus.

Teriakan kaum Luth bertambah keras dan garang. Mereka tak sabar dan ingin memecah pintu agar dapat masuk dan menemui tamu-tamu Nabi Luth. Apakah yang akan dikatakan oleh Nabi Luth atas tindakan kebengisan yang diperbuat oleh naluri haiwan kaumnya yang rendah itu? Nabi Luth pun berdiri terpaku; hanya pintu yang memisahkannya dari kaum durjana itu. Sesaat kemudian, Nabi Luth berkata kepada mereka demi menenangkan keadaan: “Hai, kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan namaku di hadapan tamuku. Tidak adakah di antaramu seorang yang dapat menbezakan baik dan buruk.

Ya, orang-orang yang berakal ketika itu telah dihinggapi fikiran-fikiran haiwan yang rendah, sehingga nafsu mereka sulit dibendung. Luth kemudian kembali menegaskan permohonannya kepada kaumnya itu, sedangkan isterinya mengintip tidak jauh dari situ. Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk mengahwini puteri-puterinya, tetapi dengan serentak mereka menjawab: “Sesungguhnya engkau telah tahu bahawa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.”

Sampai di sini, dialog antara Nabi Luth dan kaumnya terputus. Nabi Luth kemudian berfikir, apakah yang akan ia lakukan jika kaumnya memecah pintu rumahnya dan masuk untuk melampiaskan nafsu syaitannya kepada dua orang tamunya. Ia berdiri kebingungan, sedangkan isterinya memandangnya dengan pandangan khianat.
Tiba-tiba tamu Nabi Luth berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu engkau.” Kalau begitu, tamu-tamu Nabi Luth adalah utusan-utusan Allah yang datang untuk menimpakan azab kepada penduduk Negeri Sadom yang berbuat kerosakan itu.

Mendengar semua itu, isteri Nabi Luth merasa khuatir, kerana ia akan gagal memperoleh harta yang selalu diingininya itu. Kebatilan dan pelakunya memang tidak akan pernah kekal, dan kini seksa sedang menghampiri mereka. Berkata utusan-utusan Allah itu kepada Nabi Luth: “Bukakan pintu, dan tinggalkan kami bersama mereka!” Maka, Nabi Luth pun membuka pintu rumahnya. Isteri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat serombongan kaumnya menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth.

Ketika itulah, Jibril menunjukkan kelebihannya. Ia mengembangkan kedua sayapnya dan memukul orang-orang durjana itu. akhirnya, mata mereka, tanpa kecuali, buta seketika. Dengan berteriak kesakitan, mereka semua menghendap-hendap dan bingung, kemana mereka harus berjalan.

Bertanyalah Nabi Luth kepada Malaikat Jibril: “Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?” Malaikat Jibril memberitahu bahawa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi Luth pada waktu Subuh nanti. Mendengar itu, Nabi Luth segera berfikir, bukankah waktu Subuh sudah dekat.

Jibril memerintahkan Nabi Luth agar pergi dengan membawa keluarganya pada akhir malam nanti. Semua keluarga Nabi Luth pada malam itu pergi bersamanya ke luar kota, kecuali Wa’ilah. Isterinya itu bukan lagi termasuk keluarganya yang beriman kepada risalah Allah yang dibawanya. Sebaliknya, Isteri Nabi Luth justeru telah membantu orang-orang yang berbuat kerosakan, dan ia harus menerima akibatnya. Maka, turunlah azab atas dirinya, bersama semua kaum Nabi Luth yang ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Kitab Suci Al-Quran: “Maka, tatkala datang azab Kami, Kami balikkan (kota itu), dan Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) tanah liat dibakar bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan seksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.”

Maha Benar Allah lagi Maha Agung.

---------------------------------------------------------------------------------------

Isteri Nabi Nuh Menempuh Jalan Kesesatan

“Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar: Isteri Nuh dan isteri Luth, mereka adalah isteri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang soleh. Tapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya). Maka, mereka tiada berdaya membantu mereka sedikitpun terhadap seksaan Allah. Kepada mereka dikatakan: “Masuklah kamu ke dalam neraka Jahannam bersama orang yang masuk ( ke dalamnya)!”
(At-Tahrim: 10)
Seorang wanita bangun dari tidurnya, dan langsung menuju dapur untuk membuat makanan dan kueh-kueh. Setelah semua pekerjaan itu selesai, ia segera keluar rumah tanpa memberitahu suaminya, Nabi Nuh. Sebelum pintu rumahnya terbuka, tiba-tiba anak-anaknya yang masih muda, Kan’an, menegurnya: “Mahu ke mana Ibu pagi-pagi ini?”

Ibu mengisyaratkan sesuatu agar anaknya merendahkan suara, supaya tidak terdengar oleh orang lain. Lalu berkata: “Lupakah kamu, Kan’an, bahawa hari ini adalah hari raya tuhan-tuhan kita? Aku akan pergi ke Makbad Besar. Di sana kaum kita telah menunggu untuk bersama-sama melaksanakan penyembahan kepada tuhan yang telah memberi rezeki dan menolong kita.”

Kan’an memandang ibunya dengan wajah tersenyum, dan kemudian berkata: “Ibu berbuat yang terbaik. Nanti aku akan menyusul ke sana, sebab bukankah ibu tahu bahawa ayah tidak senang melihat kita bekerjasama dalam hal ini.”

Pergilah isteri Nuh ke Makbad Besar itu. Sesampainya di sana, ia segera berdiri di depan berhala dan berucap: “Wed, Suwa, Yaghuts ya’uq, dan Masr...” (nama-nama, berhala) la kemudian memohon, berdoa, mendekatkan diri, dan mempersembahkan makanan serta minuman bagi para penjaga yang mulai menyuarakan kalimat-kalimat yang tidak dapat difahami maksudnya. Kemudian mereka menunjukkan kepada tuhan-tuhan, dan sekali lagi menunjuk kepada orang-orang yang mempersembahkan korban dan mengangkat wajah mereka dengan mata terpejam, agar orang yang mempersembahkan korban itu merasa bahawa Tuhan senang dan rela kepada mereka.

Isteri Nabi Nuh melihat, dan ia dapati puteranya Kan’an, telah keluar dari ruangan sembahan menuju arena tarian di sebelah Makbad. Di tempat itu, kaum lelaki dan perempuan bercampur menjadi satu; melakukan perbuatan-perbuatan sesuka hati mereka sambil bersukaria. Melihat itu, sang ibu merasa cemas dan khuatir terhadap keadaan anaknya. Diserunya Kan’an agar kembali kepadanya, tetapi Kan’an malah bersembunyi di tengah-tengah keramaian itu tatkala ia mendengar panggilan ibunya. Kerana Kan’an tidak kembali setelah lama dipanggil, sang ibu segera kembali menuju berhala-berhala dan mulai berdoa lagi. Ia tidak ingin menyibukkan diri dengan urusan anaknya itu. Sambil berdoa, ia mengeluarkan secarik kain yang telah disapu wangi-wangian dari bungkusannya, dan kemudian diletakkannya di kaki berhala. Itulah pekerjaan yang biasa dilakukannya.

Waktu berlalu dengan cepat, dan upacara penyembahan akhirnya selesai. Isteri Nabi Nuh kemudian kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan anaknya, Kan’an, yang wajahnya tampak masam air mukanya. Cepat-cepat ia mendekati anaknya itu dan berkata: “Apa yang sedang kamu fikirkan, Puteraku?”

“Tahukah ibu, apa yang telah dilakukan Nuh, ayahku?” Kata Kan’an.

“Apa yang ia perbuat, Kan’an?” Tanya ibunya dengan wajah penuh kesedihan.

“Ia menyeru umat di pasar, dan orang-orang di sekelilingnya, dan membantah apa yang diserukan mereka!” Jawab Kan’an.

“Apa yang telah dilakukannya di pasar?” Tanya ibunya kemudian! Apakah ia hendak menjual kayu-kayu yang ia jadikan perkakas rumah?”

Anaknya menjawab: “Aku telah mendengar bahawa ia berkata: ‘Hai, kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagimu; maka sembahlah Allah, bertakwalah dan taatlah kepadaNya.”

Isteri Nabi Nuh memandang Kan’an seraya berkata: “Kalau begitu, ayahmu tidak menghendaki kita menyembah tuhan-tuhan yang memberi rezeki dan memelihara kita.”

“Sesungguhnya ia benci akan hal itu dan bahkah menghinanya. Ia tidak pernah bersedia mempersembahkan korban kepada tuhan-tuhan yang biasa kita lakukan,” jawab Kan’an.

Isteri Nuh dan anaknya pulang ke rumah. Sepanjang jalan keduanya lebih banyak membisu. Tetapi kemudian Kan’an memecahkan kesunyian itu dengan bertanya: “Apakah yang akan kita lakukan ibu, bila ayah menyeru kita seperti yang ia serukan kepada kaum negeri ini?”

“Tuhan-tuhan akan mengutukmu, Kan’an, jika engkau turuti seruan ayahmu itu!” Jawab ibunya. “Apakah kita akan meninggalkan agama kita dan agama nenek moyang kita hanya kerana ayahmu menyerukan yang lain? Tidak! Sesungguhnya hal itu tidak boleh terjadi!”

Sebelum tengah malam tiba, Nabi Nuh telah sampai di rumahnya. Semalaman isteri dan anak Nuh tidak dapat memejamkan mata. Nabi Nuh meletakkan tongkatnya di dinding rumahnya, kemudian duduk. Tidak lama, isterinya mendekati dan berkata: “Mengapa engkau terlambat pulang sampai larut malam?”

“Aku mesti menyampaikan risalah yang diperintahkan Allah kepadaku.” Jawab Nabi Nuh.

“Risalah apakah itu, Nuh?” Tanya isterinya.

Nabi Nuh menjawab: “Agar manusia menyembah Tuhannya dan meninggalkan penyembahan kepada berhala-berhala.”

“Kamu telah bertahun-tahun hidup bersama kami,” sahut isterinya kemudian. “Tetapi kini kamu berselisih dengan apa yang disembah oleh kaummu. Maka, bagaimanakah mereka akan percaya kepadamu, yang tiba-tiba mengatakan bahawa Allah telah mengutusmu kepada mereka dengan membawa suatu risalah dan menyeru mereka untuk meninggalkan sembahannya?”

Nabi Nuh menjawab: “Allah telah memilihku untuk menjalankan tugas ini bila saja Dia kehendaki. Kumpulkan ke mari anak-anak kita, aku akan menunjukkan kepada mereka tentang risalah yang kubawa ini, sebagaimana yang telah kuserukan kepada manusia!” Isteri Nuh tidak bergerak dari tempatnya, sementara anaknya Kan’an, telah duduk di sampingnya. Ia kemudian berkata kepada Nabi Nuh: “Anak-anakmu sedang tidur. Tundalah hal itu sampai datang waktu pagi!”

Kalau begitu, aku akan menyampaikan masalah ini kepada kalian berdua lebih dahulu.”

“Mengapa kamu tergesa-gesa dalam urusan ini, tidurlah sampai esok pagi!” Sahut isterinya.

“Tidak!” Kata Nabi Nuh. “Aku harus melaksanakan tanggungjawabku terhadap Allah. Sesungguhnya kamu berdua adalah ahli baitku, dan aku harus menjadi orang yang menyeru kamu berdua pertama kali. Bersaksilah bahawa Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya dan tinggalkanlah semua yang kamu sembah kecuali Allah.”

Mendengar itu Kan’an melihat ke arah ayah dan ibunya. Sang ibu pula memandang kepadanya seraya mengangguk dan berkata: “Kami tidak akan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kami dan tuhan-tuhan kaum kami semua.” Dan Kan’an pula berkata, setelah, mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya itu: “Wahai, ayah, kulihat ayah menolak ucapannya.”

Nabi Nuh menjawab: “Tidak mungkin aku akan meninggalkan risalah yang dibebankan oleh Allah kepadaku untuk kusampaikan kepada umat manusia? Kamu berdua terus-menerus menyembah batu dan kayu yang tidak dapat mendatangkan mudarat ataupun manfaat; dan kamu enggan menyembah Tuhan yang Maha Esa lagi Berkuasa.”
Mendengar perdebatan itu, anak-anak Nabi Nuh yang lain terbangun dari tidurnya. Mereka semua bangun dan menghampiri ketiga orang itu, untuk mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi. Melihat itu sang ibu segera berkata kepada mereka semua. “Ayahmu menghendaki agar kita meninggalkan tuhan-tuhan yang biasa kita sembah untuk kita menyembah tuhannya yang ia katakan telah mengutusnya untuk membimbing manusia.”

“Siapakah Tuhanmu itu, ayah?” Tanya anak-anak Nabi Nuh kepada ayah mereka.

“Dia adalah Pencipta langit dan bumi serta semua makhluk yang ada di atas alam ini. Dialah yang memberi rezeki, mematikan semua manusia di hari perhitungan (kiamat),” jawab Nabi Nuh. “Di manakah Dia berada, Ayah? Apakah Ia berada di Makbad besar bersama tuhan-tuhan yang biasa kami sembah?” Tanya salah seorang di antara anak-anak Nabi Nuh.

“Anak-anakku,” kata Nabi Nuh: “Sesungguhnya Allah tidak dibatasi oleh ruang atau waktu. Dia adalah Pencipta ruang dan waktu itu sendiri. Dia tidak dapat dilihat oleh mata kita.”

“Jika demikian, bagaimana kita mengetahui bahawa Dia ada?” Tanya yang lain.

Nabi Nuh menjawab: “Dari tanda-tanda kekuasaan-Nya atas segala sesuatu dari ciptaan-Nya dan pengadaan-Nya, dari langit yang ditinggikan-Nya tanpa tiang; dari bumi yang dihamparkan-Nya dan di dalamnya terdapat sungai-sungai dan lautan; dari hujan yang tercurah dari langit dan menumbuhkan tanaman yang memberikan sumber rezeki manusia dan haiwan-haiwan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan mematikan mereka; yang semua itu ada di hadapan kita.”

Mendengar itu, anak-anak Nabi Nuh serentak berkata: “Allah telah melapangkan hati kami untuk menerima kebaikan yang ayah serukan.”

Betapa terperanjatnya hati isteri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan terus terang anak-anaknya akan risalah yang diserukan Nabi Nuh. Ia segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Kan’an, sambil berkata kepada suaminya.“Telah rosak akal anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutu dan menurunkan seksa kepadamu!”

Ketika wajah anak-anak mereka menampakkan kehairanan Nabi Nuh menjawab: “Nanti kamu akan mengetahui bahawa berhala-hala itu tidak berkuasa memberikan manfaat dan tidak kuasa pula menolak kemudaratan atas dirinya. Bagaimana ia akan berkuasa berbuat sesuatu kepada yang lain?”

Isteri Nabi Nuh tidak berhenti dalam usaha menghalang-halangi dakwah kebajikan yang diserukan oleh Nabi Nuh kepada kaumnya. Setiap datang jiran tetangga yang hendak beriman kepada ajaran Nabi Nuh, dan meminta pendapat isteri Nabi Nuh dalam hal itu, isteri Nabi Nuh selalu mencadangkan orang-orang itu agar tidak mengikuti seruan suaminya. Bahkan ia berkata kepada mereka: “Sekiranya seruan Nuh itu baik, nescaya aku dan anakku, Kan’an mengikutinya.” Dengan pertanyaan isteri Nabi Nuh itu, pulanglah para tetangga itu dengan hati yang yakin, dan hilanglah keraguan terhadap tuhan-tuhan yang biasa mereka sembuh.

Beberapa tahun telah berlalu, dan isteri Nabi Nuh bukannya semakin condong kepada ajaran suaminya. Rasa pertentangannya dengan Nabi Nuh bahkan semakin besar dan kuat. Bersama berlalunya waktu, isteri Nabi Nuh semakin berpaling dari seruan kebenaran yang disampaikan oleh suaminya. Ia berkata kepada Nabi Nuh: “Tidak ada yang mengikutimu kecuali hanya beberapa orang miskin. Sekiranya bukan kerana kemiskinan yang mereka derita, nescaya mereka tidak akan mengikutimu. Bukankah hal ini cukup menjadi bukti bagimu bahawa seruanmu itu batil? Semua orang memperolok-olokkanmu. Maka sebaiknya kamu hentikan seruanmu itu kepada manusia....”

Meskipun demikian, Nabi Nuh tetap berjalan di atas kebenaran Ilahi yang menuntut kepada kebajikan. Ia pikul semua penderitaan dan kejahatan orang yang merintanginya untuk menyampaikan risalah Tuhannya, meskipun bertahun-tahun jumlah kaum mukminin tidak lebih dari seratus orang. Nabi Nuh selalu berdoa kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanya membuat mereka lari dan semakin menjauh.

Dan sungguh, setiap kali aku menyeru mereka agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari ke dalam telinganya dan menutup dirinya dengan pakaiannya dan mereka tetap ingkar dan menyombongkan diri dengan keangkuhan.

Kemudian kuseru mereka dengan terang-terangan. Dan berbicara kepada mereka di halayak ramai, dan juga dengan diam-diam. Maka, aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun. Nescaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu.
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?
Padahal sesungguhnya Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkat kejadian?
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?
Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya, dan menjadikan matahari sebagai pelita?
Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya?
“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan supaya kamu melalui jalan-jalan yang luas di bumi itu?”
Nuh berkata: Ya, Tuhanku, sesungguhnya mereka telah menderhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar.”

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”
“Dan sesungguhnya mereka (sembahan-sembahan berhala) telah menyesatkan orang ramai. Maka, janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.”
(Lihat surah Nuh ayat 5-24)
Allah memerintahkan Nabi Nuh membuat sebuah bahtera. Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh melihat suaminya mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh para pengikutnya agar meletakkan kayu-kayu itu di tengah-tengah kota, padahal kota itu jauh dari laut dan sungai. Maka, bertanyalah sang isteri kepada suaminya. “Apakah yang akan engkau perbuat dengan semua kayu ini, Nuh?”

“Aku akan membuat sebuah bahtera,” jawab Nabi Nuh. “Mengapa engkau membuat bahtera, sedangkan di sini tidak ada lautan atau sungai yang dapat melayarkannya?” Tanya isteri Nabi Nuh.

Nabi Nuh menjawab: “Bahtera ini akan belayar ketika datang perintah Allah.”

Kembali isteri Nabi Nuh menyanggahnya: “Bagaimana orang yang berakal akan percaya dengan ungkapanmu itu?”
“Nanti engkau akan melihat bahawa hal itu akan terjadi,” kata Nabi Nuh.

Setelah beberapa langkah isteri Nabi Nuh meninggalkan tempat itu, ia masih sempat bertanya sekali lagi: “Apakah bahtera ini akan berlayar di atas pasir?”

Nabi Nuh menjawab dengan penuh keyakinan: “Tidak! Tetapi banjir akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang menentang kami, dan kaum mukminin akan selamat di atas bahtera...”

Maka, pergilah isteri Nabi Nuh untuk menyelesaikan urusannya. Dia tidak percaya sedikit pun pada apa yang dikatakan suaminya itu. Walaupun begitu, ia sebenarnya merasa hairan kepada berita yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. “Nanti akan engkau saksikan, apakah Nabi Nuh akan membiarkanmu berlayar bersamanya di atas bahtera!”

Belum selesai ia memikirkan hal yang menghantui fikirannya itu, terdengar suara Kan’an memanggilnya. “Apakah bahtera itu, ibu?”

Maka, ibunya mengisahkan peristiwa dialog antara dirinya dan Nuh, dan mengkhabarkan pula kepada Kan’an bahawa ayahnya akan membuat sebuah bahtera di tengah kota. Kan’an nyaris tidak mendengar semua cerita ibunya, kerana ia menjadi tertawa terbahak-bahak tiada henti. Kemudian ia berkata: “Kalau begitu, benar apa yang dikatakan orang tentang ayahku!”

Isteri Nabi Nuh memandang anaknya sambil menyesali dirinya. “Aduhai malangnya nasib yang membuatku menjadi isteri lelaki itu selama bertahun-tahun. Berapa lama lagi aku harus menanggung sengsara dan celaka seperti ini?” Kemudian ia membawa anaknya pergi ke Makbad Besar.

Di Makbad Besar, sekelompok orang sedang berbantah-bantah tentang Nabi Nuh. Melihat isteri Nabi Nuh dan Kan’an datang mereka segera berkelompok di sekelilingnya dan berkata kepadanya. “Benarkah berita yang sampai kepada kami bahawa Nuh akan membuat sebuah bahtera?”

“Hal itu aku dengar dari mulut Nuh sendiri,” jawab isteri Nabi Nuh. Bertambahlah kemarahan orang-orang itu. Jika hal itu dimaksudkan sebagai olok-olok Nuh kepada mereka, maka mereka akan mengusir Nabi Nuh dari negeri mereka. Kaum Nabi Nuh tersebut kemudian pergi ke tengah kota. Di sana Nabi Nuh sedang mempersiapkan kayu-kayu untuk dibuat bahtera. Di sekelilingnya ada sekelompok orang-orang yang beriman kepadanya yang membantunya menyediakan kayu-kayu itu.

Sementara itu, kaum Nabi Nuh mulai mengolok-oloknya. Salah seorang dari mereka berteriak. “Baiklah, Nuh! Nyata sekali bahawa kamu akan datang dengan membawa bahtera kepada kami di sini, sehingga kami dapat naik bahtera yang kamu buat di atas padang pasir yang tandus ini!”

Suara yang lain terdengar: “Baiklah, Nuh! Apakah kamu akan menyuruh kaum mukminin untuk datang kepadamu dengan membawa bekas-bekas yang penuh air untuk dituangkan ke bawah bahtera ini sehingga engkau dapat membuat sebuah kolam yang di atasnya bahteramu belayar?”

Yang lain lagi berseru.” Hal itu tentu saja akan memakan waktu beberapa ratus tahun, tahukah kamu, Nuh?”
Kemudian di antara mereka ada yang tertawa sambil mengejak Nabi Nuh.” Dan semua air akan diserap oleh pasir...”
Nabi Nuh tidak memberikan jawapan terhadap ejekan-ejekan dan cemuhan-cemuhan mereka itu melainkan hanya berucap dengan beberapa kalimat pendek: “Jika kamu memperolok kami, kami pun akan memperolokkan kamu, sebagaimana kamu memperolokkan kami! Tapi kamu akan sedar, kepada siapa akan datang azab yang meliputi dirinya dengan kehinaan. Dan kepada siapa akan turun azab yang tiada akhirnya.”
(Surah Hud ayat 38-39)
Beberapa tahun telah berlalu. Nabi Nuh telah menyelesaikan bahtera ciptaannya. Sementara itu, ejekan yang datang dari kaum di sekelilingnya tidak berhenti, siang dan malam. Isteri Nabi Nuh dalam hal itu selalu memberitahu kaum musyrikin tentang kesedihan suaminya selama itu. Mendengar berita itu, makin bertambahlah kegembiraan hati mereka.

Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh terbangun dari tidurnya kerana sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Di rumahnya, Nabi Nuh mengumpulkan setiap jenis haiwan dan burung, masing-masing sepasang. Melihat perbuatan Nabi Nuh itu, isterinya bertanya. “Nuh, apa yang kamu lakukan? Dan ke mana kamu akan pergi dengan semua haiwan dan burung itu? Apakah kaum mukminin yang bersamamu akan makan haiwan-haiwan dan burung-burung itu, dan engkau tinggalkan kami di sini tanpa apa-apa?”

“Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk membawa haiwan-haiwan dan burung-burung di dalam bahtera!” Jawab Nabi Nuh.

Dengan agak pelik, isteri Nabi Nuh bertanya: “Bagaimana Tuhanmu memerintahkan seperti ini?”

Nabi Nuh menjawab: “Kelak akan kubawa setiap pasang binatang dan semua kaum mukminin di dalam bahtera ini, dengan kebenaran yang diperintahkan oleh Tuhanku kepadaku.”

Isteri Nabi Nuh tidak mahu diam. Ia bahkan berusaha membantah sambil berkata: “Apa yang akan kamu lakukan dalam bahtera itu? Apakah kalian akan meninggalkan rumah dan hidup bersama haiwan-haiwan dan burung-burung ini?”

Nabi Nuh menjawab: “Kelak air akan menenggelamkan segala sesuatu, dan tidak ada yang akan selamat kecuali siapa yang naik ke atas bahtera ini, kemudian memulai kehidupan baru yang muncul dengan fajar keimanan!”
Kali ini isteri Nabi Nuh benar-benar merasa takut dan ngeri dengan ucapan suaminya itu. Namun, kerana keingkarannya telah keras membatu, ia tetap berusaha menekan rasa takutnya itu. Segera ia pergi untuk memberitahu kaumnya tentang yang diperbuat suaminya. Maka, bertambah keraslah ejekan mereka kepada Nabi Nuh dan apa yang diperbuatnya.

Ketika datang masa yang dijanjikan oleh Allah, terperanjatlah kaum Nabi Nuh melihat datangnya banjir yang besar serta merta. Pintu-pintu langit terbuka dan mencurahkan air hujan ke bumi, sedangkan Nabi Nuh bersama orang-orang yang beriman belayar di atas bahtera tanpa isterinya dan Kan’an puteranya. Mereka berdua menolak ketika Nabi Nuh memerintahkannya agar ikut bersama ke atas bahtera. Bahkan mereka berkata: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkan daku dari banjir!”
(Hud ayat 43)
Banjir terlalu besar, hingga puncak gunung pun tenggelam. Maka tenggelamlah sang ibu bersama puteranya dalam gelombang banjir yang dahsyat. Kisah mereka di dalam Al-Quran sentiasa menjadi tanda dan peringatan bagi seluruh kaum mukminin bahawa petunjuk itu kadang-kadang terasa lebih jauh meskipun bagi orang yang paling dekat dengan pemberi petunjuk itu sendiri.

----------------------------------------------------------------------------------------

Bayi yang Berkata-kata

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, baginda bersabda: “Tidak ada yang bercakap dalam buaian kecuali tiga orang, iaitu Isa bin Maryam dan sahabat Juraij. Juraij adalah seorang yang rajin beribadat. Dia membuat surau sendiri untuk tempatnya beribadat. Pada suatu hari ibunya datang ke suraunya ketika dia sedang solat. Ibunya berkata (memanggil): “Juraij .... Juraij.....” Juraij yang sedang solat itu berkata dalam hatinya: “Ya Tuhanku, apakah aku penuhi panggilan ibuku atau kuteruskan solatku?” Akhirnya dia mengambil kesimpulan untuk meneruskan solatnya saja. Ibunya merasa kecewa dan pulang ke rumah. Esok harinya ibunya datang lagi dan Juraij pun sedang mengerjakan solat. Ibunya memanggil: “Juraij.....Juraij.”

Juraij berkata dalam hatinya: “Tuhanku, apakah kupenuhi panggilan ibuku atau kuteruskan solatku?” Dia memilih untuk meneruskan solatnya daripada memenuhi panggilan ibunya. Ibunya pun pulang lagi dalam keadaan kecewa.
Esoknya lagi (untuk kali yang ketiga), ibunya datang lagi dan kebetulan Juraij sedang solat. Ibunya memanggil: “Juraij....... Juraij.” Juraij ragu lagi: “Tuhanku, ibuku atau solatku?” Dia masih juga mengutamakan solatnya.
Ibunya yang semakin kecewa itu berkata: “Ya Allah, janganlah matikan Juraij itu sebelum dia melihat wajah wanita-wanita penzina.”

Rupanya kaum Bani Israil sedang sibuk memperkatakan Juraij kerana hebatnya beribadat dan mereka merasa cemburu melihatnya. Seorang wanita jahat dan pandai menggoda lelaki berhias kemudian berkata kepada mereka: “Kalau kamu mahu biar aku goda dan aku fitnah dia.”

Wanita itu pergi ke tempat peribadatan Juraij dan cuba menggodanya tetapi Juraij tidak terganggu kekhusukannya. Kerana kecewa, wanita itu pergi menjumpai seorang penggembala yang tidak berapa jauh dari surau Juraij. Lelaki itu menyambutnya dengan baik dan terjadilah perzinaan dan akhirnya wanita itu hamil. Setelah melahirkan anak, wanita itu mendakwa bahawa anak itu dari Juraij. Sebab itu masyarakat kampungnya pergi mendatangi Juraij. Mereka memukulinya dan menghancurkan tempat peribadatannya. Juraij merasa hairan dan berkata: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Engkau telah berzina dengan wanita liar yang bernama ini dan dia telah melahirkan anak dari benihmu sendiri.”

Juraij berkata: “Di mana anak itu?” Mereka membawa anak itu ke hadapan Juraij. Juraij meminta kebenaran dari mereka untuk mengerjakan solat sunat dua rakaat. Selesai mengerjakan solat, Juraij mendekati anak itu. Dia memperhatikannya, lalu menekan perutnya dan berkata: “Wahai bayi, siapa ayahmu?” Bayi yang baru lahir itu menjawab: “Ayahku si Polan, seorang pengembala.”Mereka semua tercengang, lalu mencium tangan Juraij, memeluk tubuhnya dan meminta maaf kepadanya sambil berkata: “Biarlah tempat peribadatanmu ini akan kami bina semula dan akan kami buat dari bahan emas.”

Juraij berkata: “Tidak, binalah semula dari tanah.” Mereka pun membangunnya semula dari tanah.

Ketika seorang bayi menyusu kepada ibunya, tiba-tiba lalu di hadapan mereka seorang lelaki cantik dan menunggang binatang yang cantik. Ibunya tertarik melihatnya dan berkata: “Ya Allah, jadikanlah anakku ini nanti seperti lelaki itu.” Tiba-tiba anak itu melepaskan puting ibunya, lalu melihat lelaki yang berjalan itu dan berkata: “Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.”

Kemudian anak itu menetek lagi kepada ibunya. Saya masih terbayang bagaimana Rasulullah SAW memperagakan keadaan bayi yang sedang menetek itu (kata yang meriwayatkan hadis ini). Baginda memasukkan telunjuk tangannya ke mulutnya yang mulia itu kemudian menghisapnya seperti bayi yang sedang menyusu. Kemudian Baginda Rasul bersabda: “Tidak lama kemudian lalu di hadapan mereka anak dara dalam keadaan pucat dan kepenatan kerana dikejar orang ramai dari belakang. Orang ramai yang mengejarnya itu berteriak-teriak: “Wanita penzina.... pencuri.” Dalam keadaan sesak nafas dan kesakitan, wanita itu hanya berkata: “Cukuplah Allah yang mengetahuinya dan Dialah sebaik-baik tempat berserah.”

Melihat yang demikian ibu yang menyusukan itu berkata: “Ya Allah, jangan jadikan nanti anakku ini seperti dia.” Bayi itu melepaskan susu ibunya, lalu memandang kepada wanita yang dikejar-kejar itu kemudian berkata: “Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia.” Di sana ada lagi hadis yang lebih lengkap ceritanya.

Ibunya merasa hairan dan berkata: “Tadi lalu seorang lelaki yang cukup hebat dan menarik kemudian ibu doakan supaya engkau dijadikan seperti dia malah engkau menjawab: “Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.” Tidak lama kemudian menyusul wanita malang yang dikejar-kejar orang, dipukuli dan dituduh mencuri dan berzina, kemudian ibu doakan supaya engkau jangan dijadikan seperti dia tetapi malah engkau berkata: “Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia.” Ibu ingin tahu mengapa engkau menjawab seperti itu ?” Bayi itu menjawab: “Lelaki yang kelihatan hebat dan bergaya itu tadi sebenarnya orang jahat, maka aku pun berdoa kepada Allah supaya jangan dijadikan seperti dia. Sedangkan wanita ini, yang mereka menuduhnya mencuri dan berzina, sebenarnya dia tidak ada mencuri dan berzina. Dia sebenarnya cukup mulia di sisi Allah dan aku pun memohon dijadikan seperti dia.”

Dari sumber yang lain, dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi SAW, bersabda:
“Ada empat orang yang pandai bercakap semasa kecil, iaitu anak Masyitah, zaman Firaun, anak yang menjadi saksi Nabi Yusuf (bersama Zulaikha) sahabat Juraij (yang dituduh anaknya) dan Isa bin Maryam.”

---------------------------------------------------------------------------------------

Kisah Juha Dengan Perompak

Suatu ketika, Juha adalah seorang saudagar yang terkenal lagi kaya raya dan dia juga di kenali sebagai saudagar yang pemurah lagi baik hati, amanah serta suka membuat kebajikan. Dia hidup berdua sahaja iaitu dengan isterinya di dalam sebuah rumah yang sungguh besar. Mereka ditakdirkan Allah tidak mempunyai cahaya mata walaupun seorang.

Maka telah menjadi kebiasaan bagi Juha bahawa seluruh hartanya sama ada yang diperolehi dari hasil perniagaan atau sebagainya dia akan menyimpannya di dalam sebuah peti besi yang besar yang kemudiannya peti besi tersebut di simpan di dalam sebuah bilik khas di dalam rumahnya. Pokoknya seluruh harta yang dimilikinya disimpan di dalam peti besi tersebut.

Dalam masa yang sama dia tidak pernah mengupah pengawal walau seorang pun untuk menjaga rumahnya sedangkan rumahnya itu sentiasa menjadi intipan perompak-perompak yang berkeliaran di dalam bandar tersebut. Juha hanya bertawakal kepada Allah swt atas segalanya.

Maka untuk jadi cerita, pada suatu malam entah macamana tiba-tiba Juha terkejut dari tidur. Kerana apa! kerana dia terdengar suara tapak kaki orang berjalan-jalan di atas bumbung rumahnya. Dia merasakan sudah pastilah ada orang menceroboh masuk ke dalam kawasan rumahnya, dan orang itu tak lain mestilah perompak.

Serta merta badannya mengeletar ketakutan kerana kebetulan dia terdengar si perompak di atas bumbung rumahnya itu mengatakan sesama mereka: "Malam ini kita mesti rompak seluruh harta yang dimiliki oleh Juha....kita jangan tinggalkan walau satu pun. Dan kalau dia melawan, maka kita bunuh dia dan isterinya !".

Bertambah menggeletarlah Juha dibuatnya kerana terlalu takut. Tetapi dia cuba mengawal diri dan perasaannya....lalu dia duduk di atas katil, termenung seketika sambil mulutnya komat-kamit tidak habis-habis mengucapkan kalimah syahadah. Dan dalam kepalanya terfikir bagaimanakah caranya untuk mengatasi masaalah ini, bagaimana untuk menyelamatkan dirinya, isterinya dan juga harta benda kepunyaan.

Tanpa berlengah dia terus mengejukkan isterinya dengan perlahan dan tenang dan dia memberitahu isterinya tentang apa yang sedang berlaku. Setelah agak lama, akhirnya Juha mendapat satu jalan, maka dia pun meminta isterinya supaya berpura-pura berselisih faham dengannya serta memarah-marahnya dengan suara yang tinggi supaya dapat di dengar oleh perompak yang berada di atas bumbung rumah mereka. Juha memberitahu isterinya supaya menanyakan kepadanya dengan suara yang lantang tentang dari manakah dia memperolehi seluruh harta yang di milikinya sekarang ini...dan bagaimanakah caranya! : "Kamu tanyakanlah berulang-kali sehingga aku terpaksa menceritakan tentang rahsia diriku yang sebenarnya kepada kamu yang ianya sama sekali tidak di ketahui oleh sesiapa pun !" tambah Juha dengan berbisik-bisik kepada isterinya.

Lantas si isteri pun mulalah bertanya sepertimana yang di pinta oleh Juha dengan suara yang lantang berulang-kali isterinya berkata :
"Wahai Juha! aku ini isteri kamu. Jadi mengapa pulak kamu tidak percaya denganku!. Mengapa mesti kamu rahsiakan dariku tentang perkara yang sebenarnya ! tentang bagaimana caranya kamu boleh beroleh seluruh harta kekayaan yang kamu miliki sekarang ini....kita sudah lama berkahwin dan aku masih ingat lagi bahawa semasa kita berkahwin dulu kamu tidaklah kaya seperti ini....bahkan hidup kamu miskin papa kedana. Dan aku rasa orang tua kamu tidak ada mewariskan apa-apa harta kekayaan buat kamu. Jadi tolonglah ceritakan kepadaku apakah rahsianya! janganlah kamu menyembunyikannya dariku wahai Juha!".

Lalu Juha pun berkata dengan nada yang perlahan bercampur sedih: "Setelah begini lama kamu hidup denganku barulah kamu mahu bertanya dari mana dan bagaimana aku memperolehi seluruh harta kekayaan yang aku milikinya sekarang ini!".

"Wahai isteriku! bukankah kamu tahu bahawa aku ini adalah seorang saudagar aku ini seorang peniaga yang mahsyur yang dulunya aku terpaksa bekerja keras...bertungkus lumus menempuh berbagai kesusahan dan rintangan maka sudah wajarlah aku memperolehi segala apa yang aku miliki sekarang ini. Dan semua hartaku ini adalah datang dari hasil usahaku yang halal hingga dengan itu aku dapat membuat berbagai kebajikan...aku boleh sedekah sana sini. Dan aku rasa semua orang tahu akan cerita ini, jadi bagaimanalah kamu isteriku tak tahu tentang ini, teman hidup sematiku.... sepatutnya kamulah yang lebih tahu tentang ini. Tetapi kamu yang banyak bertanya pula, sepatutnya kamulah orang yang paling faham dan yang paling tahu tentangku. Semoga Allah mengampunkan kamu wahai isteriku!".

Isterinya tambah tidak berpuashati bahkan si isteri terus berkata serta melaungkan suara semakin kuat: "Wahai Juha suamiku! janganlah kamu berpura-pura! kamu banyak bersedekah dan berbuat kebajikan semua itu supaya orang mengatakan bahawa kamu adalah seorang yang baik hati!. Aku sama sekali tidak percaya segala apa yang kamu sebutkan tadi semua itu adalah tipu dan bohong belaka. Yang semoga dengan itu kamu akan dapat menipu orang ramai dengan begitu mudah sekali. Walau bagaimana pun aku yakin dan percaya bahawa di sebalik ini semua tersembunyi suatu rahsia yang besar dan penting sekali. Masakan harta kekayaan ini semua kamu dapat memperolehinya dalam masa yang singkat!".

Segala pertelingkahan mereka berdua sebenarnya didengar oleh perompak-perompak yang berada di atas bumbung. Mereka mendengar dengan penuh teliti sekali sehinggakan mereka tidak sabar untuk mengetahui apakah rahsia Juha yang sebenarnya saling mereka berpandangan sesama mereka. Dan perkara ini menimbulkan tanda tanya dalam kotak fikiran mereka dan mulalah mereka menyangka yang bukan-bukan tentang bagaimana Juha memperolehi segala harta kekayaannya.

Dan kebetulan mereka pun tidak pernah mendengar bagaimana kisah Juha menjadi kaya, mereka tidak pernah tahu bagaimana kisah perniagaan Juha. Yang mereka tahu ialah tiba-tiba Juha mempunyai rumah besar, harta yang banyak. Di kala itu juga mereka cuba-cuba untuk mengintai-ngintai ke bawah, untuk melihat apa yang sedang di lakukan oleh Juha.

Selang beberapa ketika..kedengaran suara isteri Juha memaksa Juha untuk menceritakan juga apakah rahsia yang sebenarnya. Dia berharap semoga Juha tidak lagi menyimpam rahsia tersebut darinya. Kerana sesungguhnya dia telah berbakti dengan penuh ikhlas sebagai isterinya jadi janganlah pula Juha tidak mempercayainya, bersungguh-sungguh isteri Juha memujuknya, hingga akhirnya oleh kerana tidak tahan isteri Juha pun terus menangis sambil terluncur dari mulutnya :
"Wahai Juha! aku mengingatkan kamu buat kali yang terakhir, iaitu jika kamu tetap juga tidak mahu menceritakan rahsia tersebut, maka sekarang ini juga aku akan keluar rumah meninggalkan kamu seorang diri dan aku tidak akan pulang ke sini sampai bila-bila !".

Juha terperanjat melihatkan gelagat isterinya, hinggakan sanggup dia memperkatakan yang sedemikian itu. Akan tetapi ini semakin menjadikan dia bersemangat untuk memperlakonkan kedudukannya dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka dia pun menenangkan isterinya, di pujuknya sambil dia berjanji bahawa dia akan menceritakan rahsia tersebut tetapi dengan syarat hendaklah si isteri menyimpan rahsia tersebut dengan penuh amanah, jangan di ceritakan pada sesiapa pun dan jangan rahsianya terbocor. Serta-merta isterinya berhenti menangis seraya berjanji bahawa dia tidak akan membocorkan rahsia tersebut.

Kemudian Juha pun mulalah bercerita: "Sebenarnya aku dulu adalah seorang perompak yang terkenal...yang sangat pintar....lagi sungguh hebat. Aku mempunyai pengikut yang ramai...mereka semuanya berani, ganas lagi jahat. Bagaimana aku boleh jadi ketua ! sebab aku mempunyai satu ilmu yang ilmu itu tidak ada pada perompak yang lain. Iaitu aku telah mempelajari satu ilmu sihir daripada seorang ahli sihir hindu yang ilmu tersebut sangat merbahaya tetapi sungguh canggih !".

"Kelebihan ilmu ini ialah apabila aku mahu merompak rumah orang kaya caranya begini....aku akan masuk ke dalam rumah orang kaya tersebut tanpa di ketahui...dan aku akan ambil seluruh harta kepunyaannya...setelah itu aku akan keluar semula dengan selamat. Lamalah juga aku melakukannya hinggalah aku benar-benar kaya sekarang ini....setelah agak lama barulah aku berpindah ke bandar ini. Aku bawa seluruh harta kepunyaanku dan orang di bandar ini tidak tahu langsung asal usul ku...apa yang aku lakukan sebelum ini. Tetapi semua itu bukan boleh di lakukan begitu saja...ianya ada bacaan tertentu !".

Ini menjadikan perompak-perompak mendengar bersungguh-sungguh....mereka tidak sabar untuk mengetahui apakah bacaan tersebut. Mereka bertambah seronok lagi apabila mendengar isteri Juha segera memujuknya agar memberitahu apakah bacaan tersebut. Juha tersetuju...tetapi dengan syarat jangan di bocorkan rahsianya ini kerana dia tidak mahu orang lain menggunakannya untuk melakukan kejahatan lagi kerana dia telah bertaubat. Si isteri pun bersetuju....Juha pun menghampiri isterinya...jadi para perompak pun terpaksalah mendengar dengan penuh teliti sekali.

Juha menyambung ceritanya lagi : "Cara aku merompak dulu ialah.....aku akan panjat ke atas bumbung rumah orang tersebut...dan tempat yang aku cari mula-mula sekali ialah aku cari tempat ruang di mana cahaya bulan boleh masuk ke dalam rumah tersebut. Sudah mestilah cahaya bulan kena terang...jadi aku akan pastikan bahawa cahaya bulan dapat masuk melalui ruang tersebut hingga sampai ke dalam rumah. Setelah itu aku akan berdiri betul-betul di atas ruang tersebut sambil mengenakan badanku pada cahaya bulan lantas aku akan menyebut bacaan :

"Syaulam ! Syaulam !"....sebanyak 7 kali. Maka dengan sendirinya cahaya bulan tadi akan membawa aku turun masuk ke dalam rumah melalui ruang tersebut... seakan-akan aku turun dari tangga. Jadi bila dah sampai dalam rumah apa lagi, aku ambil lah segala harta benda dan kemudian aku berdiri semula pada cahaya bulan tadi lantas aku menyebutkan bacaan yang sama sebanyak 7 kali !".

"Serta-merta cahaya bulan itu akan membawa aku dan semua harta yang aku curi naik semula ke atas bumbung rumah. Semua itu aku lakukan tanpa di sedari langsung oleh tuan rumah....sedar-sedar keesokan paginya seluruh harta bendanya telah habis aku curi !. Begitu hebat sekali ilmu yang aku amalkan !".

Kemudian tidak semena-mena Juha pun melaungkan suaranya kepada si isteri : "Ha ! sekarang baru kamu puashati ! kamu dah tenang dah ! kamu dah tahu siapa aku sebenarnya....yang penting kamu mesti simpan rahsia ini betul-betul jangan sampai bocor !. Baiklah ! sekarang ni kita tidurlah...sebab besok banyak kerja yang hendak aku selesaikan...tidurlah !".

Mereka berdua pun kembali masuk ke dalam bilik tidur...tetapi sebenarnya mereka berpura-pura tidur. Juha yakin bahawa sedikit sebanyak cerita yang di reka-rekanya itu tadi dapat menipu daya para perompak yang sedang berada di atas bumbung rumahnya...dan dia yakin sudah pasti mereka akan melakukan sesuatu rentetan dari ceritanya itu tadi.

Bila para perompak tahu bahawa mereka berdua telah masuk semula ke bilik tidur...bukan main seronoklah di buatnya...nak-nak mereka dah tahu rahsia sebenar Juha. Maka ada peluanglah untuk mereka mengamalkan ilmu yang baru mereka perolehi itu.

Suasana senyap buat seketika.. kemudian si ketua perompak mengambil keputusan untuk melakukan seperti apa yang telah di ceritakan oleh Juha. Terus dia mencari ruang di mana cahaya bulan boleh masuk ke dalam rumah. Dan kebetulan pula malam itu bulan mengambang...jadi cahaya bulan pun agak terang. Setelah puas si ketua perompak menjenguk ke dalam ruang tersebut, tahulah dia bahawa ruang tersebut boleh masuk terus ke dalam bilik di mana Juha menyimpan seluruh harta-hartanya.

Dia pun terus berdiri bertepatan dengan ruang tersebut...di kenakan badannya pada cahaya bulan lalu dengan suara yang kuat dia pun menyebut : "Syaulam ! Syaulam !"....sebanyak 7 kali.

Tetapi dia merasa hairan kerana tidak berlaku sepertimana menurut cerita Juha tadi. Mulalah dia tidak berpuashati berulang-kali dia menyebutkan bacaan tersebut tetapi badannya tidak mahu juga bergerak. Akhirnya oleh kerana hilang sabar dia pun terus melompat masuk ke dalam ruang tersebut...kot-kot dengan berbuat demikian akan berlaku sepertimana yang di sangka.

Akan tetapi memang nasibnya kurang baik...memang benar bahawa cahaya bulan tidak berperanan sama sekali. Tanpa di duga dia terus terjatuh ke dalam rumah dari atas bumbung rumah...apa lagi bunyinya seperti nangka busuk jatuh....berdentum. Oleh kerana terlalu sakit dia tidak dapat menahan terus menjerit kesakitan : "Aduh ! Aduh !".

Juha dan isterinya yang memang sudah menyangka akan berlaku sedemikian, bila terdengar suara orang menjerit kesakitan terus bingkas bangun....di capainya sebatang tongkat lalu meluru ke arah bilik khas tempat di simpan peti besi. Tanpa kasihan terus Juha memukul si ketua perompak dengan sekuat hatinya....si ketua perompak pun terus menjerit-jerit bertambah lagi kesakitannya.

Hal ini menyedarkan para perompak yang sedang berada di atas bumbung....tahulah mereka bahawa ketua mereka telah terpedaya dengan cerita Juha...dan sekarang ini dia telah di tangkap oleh Juha. Tanpa berlengah mereka pun terus melompat dari atas bumbung...lari menyelamatkan diri sebelum di tangkap oleh orang ramai.

Dalam masa yang sama Juha dan isterinya sama-sama menjerit-jerit meminta tolong dari penduduk bandar : "Tolong Tolong ! pencuri masuk ke rumahku !".....apa lagi orang ramai pun terjaga dek jeritan tersebut. Mereka terus bangun lalu beramai-ramai berlari menuju ke rumah Juha untuk memastikan apa yang berlaku. Juha pun meminta isterinya mengambil tali lalu mengikat si ketua perompak.

Lembik si ketua perompak di buatnya....Juha terus memukulnya dengan tongkat. Setelahmana orang ramai berkumpul di depan rumah Juha...Juha pun mengeret si ketua perompak yang telah di ikatnya itu keluar. Lalu mereka beramai-ramai membawanya kerumah Tuan Hakim untuk di bicarakan. Sambil berjalan orang ramai tidak putus-putus mengucapkan tahniah kerana telah berjaya menangkap perompak yang selama ini bermaharaja lela di bandar tersebut.

Tuan Hakim terus membicarakan si ketua perompak...dan akhirnya ketua perompak mengaku bersalah seraya memberitahu siapakah pengikutnya... di mana tempat mereka bersembunyi dan begitu juga tempat di mana mereka menyembunyikan segala harta-harta penduduk bandar yang telah mereka curi.

Lantas Tuan Hakim mengeluarkan arahan supaya semua barang-barang curi tersebut di pulangkan kepada tuan-tuannya semula dan semua para perompak di tangkap dan di penjarakan.

Orang ramai merasa gembira..mereka semakin mengucapkan tahniah dan terima kasih kepada Juha. Pagi itu juga pihak keselamatan menangkap semua perompak-perompak.....dan semua barang-barang yang mereka curi di pulangkan semula pada tuan-tuannya. Suasana menjadi riuh rendah buat seketika.....mereka tidak sudah-sudah mengucapkan terima kasih kepada Juha dan juga Tuan hakim....sambil mereka beramai-ramai memanjatkan kesyukuran kehadrat Allah swt.

Dalam riuh rendah itu....tiba-tiba isteri Juha datang menghampirinya seraya berkata : "Nampaknya semua perompak dah tertangkap ! menunjukkan ini ada pelung untuk kamu amalkan semula ilmu kamu tu ! kalau kamu merompak pun orang tak akan tahu siapa yang melakukannya...bukankah ilmu kamu tu hebat lagi canggih !".

Juha terperanjat sebentar bila mendengar kata-kata isterinya....rupa-rupanya si isteri percaya segala apa yang di reka-rekanya malam tadi. Oleh kerana terlalu gelihati dia pun terus ketawa terdekah-dekah : "Kah ! kah ! Kah!"... sambil di dalam hatinya berkata : "Tidak sangka bahawa isteriku boleh terfikir seperti yang demikian !".

----------------------------------------------------------------------------------------


Kisah Juha Dengan Seorang Penipu


Pada suatu hari Juha sedang duduk termenung di depan pintu rumahnya..dia merenung kepada seutas rantai emas di tangannya. Rantai emas tersebut adalah satu-satunya harta peninggalan orang tuanya yang masih ada. Kerana yang selainnya sudah habis di jual untuk membayar segala hutang-hutangnya. Sebab sebelum ini dia banyak berhutang setelahmana dia menanggung kerugian dalam berniaga.

Oleh kerana dia sekarang ini terlalu kesempitan harta, maka dia tidak bercadang untuk menjual rantai emas tersebut. Biarlah rantai tersebut di simpan buat selama-lamanya kerana ianya adalah satu-satunya harta peninggalan orang tuanya yang masih ada. Akhirnya dalam masa yang sama dia mengambil keputusan untuk bermusafir iaitu untuk membina hidup baru dengan azam baru. Tanpa berlengah terus dia bersiap sedia untuk memulakan permusafirannya kerana kebetulan dalam masa yang sama ada satu kabilah yang di pimpin oleh seorang saudagar yang terkenal akan berangkat pulang ke negaranya dengan barang dagangan serta hasil keuntungan yang banyak. Kabilah tersebut adalah dari negara jiran. Dia pergi berjumpa saudagar tersebut...lalu meminta untuk bekerja dengannya. Tanpa banyak bicara saudagar tersebut terus menerimanya menjadi salah seorang pekerjanya.

Pergilah dia bersama-sama dengan kabilah tersebut....sampai di negara tersebut dia pun terus bekerja dengan saudagar tersebut dengan penuh tekun dan bersungguh-sungguh sekali. Setelah agak lama dia bekerja si saudagar tadi melihat bahawa Juha adalah seorang pekerja yang baik...bagus...rajin lagi tekun. Maka tanpa banyak fikir dia memilih Juha untuk turut serta dengan kabilah yang bakal di hantarnya besok hari untuk pergi berniaga ke negara jiran.

Setelahmana Juha mendapat tahu bahawa dia terpilih untuk turut serta dengan kabilah tersebut....maka mulalah dia terfikir bahawa sudah pasti berbulan-bulan lamanya dia akan pergi....perjalanan pula memakan masa agak lama....jadi rantai emas satu-satunya peninggalan orang tuanya mesti di simpam baik-baik....dia tidak boleh untuk membawanya. Kerana mana tahu dalam perjalanan nanti kabilahnya akan di rompak.

Puas dia berfikir pada siapa hendak dia amanahkan rantai emas tersebut untuk di simpan. Sebab apa ! sebab dia orang baru di situ....dia baru tinggal di situ buat beberapa bulan saja...jadi dia belum kenal banyak orang. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk meninggalkan kepada jiran sebelahnya....kerana dia melihat bahawa jiran sebelahnya boleh di percayai. Orangnya agak berumur, pemurah, baik hati, juga seorang peniaga yang terkenal di bandar tersebut.

Pada keesokan harinya sebelum bertolak....pagi-pagi lagi Juha telah pergi kerumah orang tua tersebut. Dia mengetuk pintu rumah...tidak lama kemudian pintu pun di buka dan keluarlah orang tua tadi dengan senyuman lebar. Tanpa banyak bicara Juha pun berkata :

"Wahai Tuan ! aku adalah jiran kamu dan aku adalah orang asing di sini. Baru beberapa bulan saja aku tinggal di sini. Jadi aku mahu bermusafir dengan kabilah saudagar si polan untuk berniaga ke negara jiran. Oleh kerana merasa bimbang jadi aku minta agar kamu sudi untuk menerima suatu amanah untuk kamu simpankan buat seketika. Bila pulang nanti aku akan ambil semula...barang tersebut ialah rantai emas ini !".

Juha pun mengeluarkan rantai tersebut dari poket jubahnya. Bila orang tua tadi terlihat rantai emas tersebut....matanya tidak berkelip-kelip.....tetapi untuk menyembunyikan perasaan tamaknya dia pun berkata demi menenangkan hati Juha :
"Wahai saudaraku ! sesungguh amanah adalah suatu yang besar lagi berat. Aku boleh menerimanya tetapi dengan syarat kalaulah berlaku apa-apa janganlah kamu menyalahkan aku. Sebab apa ! aku ni pun dah berumur dan uzur pulak tu....katalah di takdirkan Allah aku mati sedangkan kamu belum pulang-pulang lagi lebih-lebih pulak aku tidak ada waris untuk aku amanahkan rantai ini !".

Berkata Juha : "Wahai Tuan ! tidak mengapalah aku yakin bahawa kamu adalah seorang yang amanah. Seandainya berlaku yang sedemikian aku memaafkannya terlebih awal....walau bagaimanapun kamu cubalah cari sesiapa yang boleh menyimpan amanah ini sementara aku pulang semula nanti. Dan seandainya aku yang mati dulu sebelum kamu, maka aku berharap kamu dapat jualkan rantai emas ini dan duitnya kamu sedekahkah kepada fakir miskin juga sesiapa yang memerlukannya !. Rasanya kita tidak memerlukan sesiapa pun untuk menjadi saksi kerana Allah swt sudah cukup untuk menjadi saksi !".

Orang tua tadi pun setuju dengan apa yang di perkatakan oleh Juha.....di terimanya amanah tersebut. Lalu tanpa berlengah Juha pun terus meminta izin untuk pergi kerana kabilahnya sudah hampir mahu berangkat. Tidak lama kemudian berangkatlah Juha bersama-sama kabilah tersebut dengan hati penuh tenang....dengan penuh keyakinan terhadap orang tua tadi.

Permusafirannya memakan masa agak lama... berbulan-bulan lamanya. Selang beberapa bulan barulah Juha pulang berserta kabilah perniagaannya dengan membawa hasil keuntungan yang banyak. Sebelum pulang Juha sempat membeli satu hadiah untuk dia hadiahkan kepada orang tua yang menyimpan amanahnya tanda terima kasihnya. Sudah pastilah ianya juga adalah suatu hadiah yang juga berharga.

Bila sampai saja...tanpa berlengah terus Juha meminta izin untuk pergi kerumah orang tua tersebut. Oleh kerana terlalu gembira saudagar yang punya kabilah pun terus mengizinkannya. Juha terus berlari kerumah orang tua tersebut dengan hati penuh gembira...tidak sabar untuk melihat semula rantai emas peninggalan orang tuanya.

Sampai saja kerumah orang tua tersebut terus dia mengetuk pintu sambil memberi salam : "Assalamualaikum!" kemudian kedengaran suara menjawab dari dalam sambil lewa sahaja....mahu tak mahu seakan-akan tidak menghiraukan siapa yang memberi salam : "Waalaikumussalam !!".

Setelah agak lama menunggu barulah pintu di buka....tuan rumah membuka pintu untuk melihat siapa yang memberi salam tadi. Juha terus melemparkan senyuman manis kepada orang tua tersebut. Akan tetapi orang tua tersebut sama sekali tidak membalas senyuman Juha...seakan-akan dia tidak pernah mengenali Juha.

Walau bagaimana pun Juha terus menghulurkan bungkusan hadiah di tangannya kepada orang tua tersebut seraya berkata : "Aku harap kamu sudi menerima hadiahku ini sebagai tanda terima kasihku terhadap kamu. Kerana kamu sudi menerima amanahku...terima kasihlah kerana kamu sungguh baik hati !".

Akan tetapi orang tua tadi memberi isyarat seakan-akan dia tidak faham apa maksud kata-kata Juha....dia memberi isyarat seakan-akan dia sama sekali tidak mengenali Juha....lantas dia berkata : "Eh ! apa yang kamu katakan ini ! apa dia amanah yang kamu katakan itu ! dan aku tak pernah pun mengenali kamu !". Dengan serba salah Juha pun berkata : "Eh ! bukankah aku ada meminta kamu menyimpan rantai emas sebagai satu amanah pada kamu dulu !".

Dengan suara yang tinggi tiba-tiba orang tua tadi berkata sambil menudingkan jari kepada Juha : "Pergilah kamu dari sini ! aku rasa kamu ni gila ! aku tak pernah berkenalan dengan kamu langsung dan aku tidak ada menerima apa-apa amanah dari kamu !. Aku harap kamu boleh pergi segera sebelum aku memanggil pihak keselamatan untuk menangkap kamu !".

Seakan-akan mahu tercabut kepala Juha dari badan bila mendengar kata-kata si orang tua tadi. Dia cuba menenangkan orang tua tersebut....dia cuba menceritakan cerita sebenar, tetapi orang tua tadi menolak mentah-mentah....semuanya di nafikan dengan memaki serta menjerit-jerit ke muka Juha : "Pergi kamu dari sini ! aku tidak mahu tengok muka kamu!".

Tanpa banyak bicara terus Juha meninggalkan rumah orang tua tersebut dengan hati penuh tanda tanya... penuh kecewa...tidak tahu apa yang hendak di lakukan lagi. Lama dia duduk termenung di depan pintu rumahnya. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk bertemu dengan Tuan Hakim lalu menceritakan apa yang sebenarnya berlaku.....di ceritakan tentang orang tua yang telah mengkhianatinya. Tetapi sebelum pergi kerumah Tuan Hakim hati kecilnya berkata :
"Apa pula yang akan dapat di lakukan oleh Tuan Hakim selagimana si orang tua itu tetap juga menafikan bahawa dia tidak ada menerimana apa-apa amanah dariku...lebih-lebih lagi aku tidak mempunyai bukti mahupun saksi !....mana mesti aku dapatkan bukti dan saksi sebab aku tidak ada menulis apa-apa tentang amanah tersebut !?".

Akan tetapi Juha sama sekali tidak berputus asa dan yang penting dia tidak mahu kehilangan satu-satunya harta peninggalan orang tuanya. Terus dia berfikir dan berfikir bagaimana untuk mendapatkan semula hartanya itu. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi bertemu terus dengan Tuan Gabenor bandar tersebut untuk mengadu hal. Tanpa berlengah terus dia pergi kerumah Tuan Gabenor. Sampai di depan pintu istana dia meminta izin untuk masuk...tetapi pengawal pintu tidak mengizinkannya selagimana dia tidak menceritakan apa sebab dia mahu bertemu Tuan Gabenor.

Juha pun menceritakan tujuannya dengan nada penuh sedih. Lalu pengawal pun berkata : "Baiklah ! kamu tunggu di sini sebentar...aku akan berjumpa Tuan Gabenor untuk meminta izin buat kamu masuk menemuinya !". Juha pun menunggu di pintu istana dengan penuh pengharapan. Tidak lama kemudian pengawal pun datang seraya berkata : "Ha ! masuklah Juha ! Tuan Gabenor telah mengizinkan kamu masuk !".

Dengan penuh gembira...tanpa berlengah terus Juha masuk ke dalam istana untuk bertemu Tuan Gabenor. Sampai di depan Tuan Gabenor terus Juha ceritakan apa yang sebenarnya berlaku...oleh kerana tidak tertahan kesedihannya Juha pun menangis semahu-mahunya. Simpati Tuan Gabenor di buatnya lantas beliau berkata : "Kenapa kamu tidak pergi terlebih dahulu kepada Tuan Hakim !?".

Jawab Juha : "Kerana aku tidak mempunyai apa-apa bukti ataupun saksi. Dan kerana aku katakan padanya bahawa saksi kita ialah Allah swt !". Mendengar yang demikian beliau pun berkata : "Kalau begitu ! aku pun tidak boleh untuk berbuat apa-apa....kamu tidak mempunyai apa-apa bukti. Kalaulah di bawa orang tua itu kesini sudah pasti dia akan menafikannya wahai Juha !".

Mereka semua menjadi buntu, suasana senyap seketika. Tiba-tiba Juha berkata : "Wahai Tuan Gabenor ! aku ada satu jalan...kalau berjaya jalan ini, maka akan jelaslah bahawa orang tua tersebut adalah seorang penipu dan suka mengkhianati amanah orang. Akan tetapi sekiranya perancangan aku ini tidak berjaya, maka janganlah kamu lakukan apa-apa kekerasan terhadap orang tua tersebut !".

Tuan Gabenor pun bersetuju untuk mendengarnya....Juha pun mulalah memberitahu tentang perancangannya satu persatu. Tuan Gabenor mendengarnya dengan teliti sekali. Beliau mendengarnya dengan begitu minat sekali sambil terdetik di dalam kepalanya : "Bahawa Juha ini seorang yang cerdik juga !". Akhirnya beliau pun bersetuju untuk melakukan seperti apa yang telah di sarankan oleh Juha demi memberi pengajaran kepada orang tua yang suka menipu tadi.

Pada keesokan paginya Juha terus membawa sebuah kerusi lalu di letakkan betul-betul di depan kedai kepunyaan orang tua tersebut....lalu dia pun duduk di atas kerusi tersebut...dia duduk dengan penuh ego dan sombong sekali. Lantas dia melemparkan pandangannya ke arah orang tua yang sedang duduk di dalam kedainya dengan pandangan sinis dan tajam seolah-olah sedang bermusuhan. Melihatkan yang demikian orang tua tadi pun merasa pelik...lama kelamaan dia mula naik marah. Oleh kerana tidak sabar dia terus bangun menuju ke arah Juha yang sedang duduk di depan kedainya. Juha tetap tenang dan tidak bergerak sama sekali, seakan-akan tidak memperdulikannya.

Bertambah marahlah si orang tua tadi....dengan kemarahan yang membuak dia terus menyentap leher baju Juha seraya berkata : "Eh ! kenapa kamu duduk di sini tanpa keizinan dariku....ini adalah kawasan kedaiku. Aku beri amaran sekiranya kamu tidak mahu pergi aku akan memanggil pihak keselamatan untuk menangkap kamu !".

Rupa-rupanya secara sepontan beberapa orang pengawal istana pun datang....mereka terus meleraikan pergaduhan tersebut. Orang tua tadi tidak berpuashati seraya berkata : "Orang ini duduk di depan kedaiku tanpa keizinanku, sudah begitu dia melihat ke arahku dengan penuh ego dan sombong sekali sedangkan aku tidak pernah mengenalinya !".

Serta-merta pengawal tersebut berkata dengan suara penuh lembut : "Tuan ! kawasan ini adalah jalan umum. Orang ramai berhak untuk berbuat apa saja...samaada mahu duduk...berdiri. Jadi Tuan yang mulia ini tak salah. Dia berhak duduk di sini walaupun kamu kata kawasan ini berada dalam hak kamu. Dia berhak walaupun kalau dia mahu duduk di atas kepala kamu sekalipun. Jadi adakah kamu faham wahai orang tua yang tak sedar diri !?".

Bentak si pengawal sambil mempersilakan Juha duduk semula ke atas kerusinya : "Silakan duduk Tuan! silakan!" lantas si pengawal tadi pun mengambil segelas air lalu di berikan kepada Juha sambil berkata : "Sila minum Tuan! Tuan kalau ada apa-apa kami semua sedia berkhidmat untuk Tuan!".

Semua itu terus di saksikan oleh orang tua tadi dengan penuh kehairanan...tetapi kemarahannya terus membuak. Dalam hatinya berkata : "Eh ! siapakah sebenarnya lelaki ini ! hinggakan pengawal istana pun begitu hormat sekali terhadapnya !?"..seakan-akan ada sesuatu yang dia tidak mengetahuinya.

Tidak lama kemudian kedengaran suara melaung : "Orang ramai ! beri laluan kerana kenderaan Tuan Gabenor mahu lalu !"....tahulah orang ramai bahawa Tuan Gabenor telah berbesar hati untuk meninjau keadaan di pasar....semua yang hadir berdiri memberi penghormatan. Kebetulan tempat Juha duduk itu adalah kawasan jalan umum yang bakal di lalui oleh kenderaan Tuan Gabenor. Orang tua tadi terus bergegas berdiri di depan kedainya memberi hormat. Tetapi yang pelik lagi ialah Juha sama sekali tidak bangun....bahkan dia terus duduk tenang seakan-akan tidak menghiraukan bahawa kenderaan Tuan Gabenor semakin menghampirinya.

Tidak lama kemudian sampailah kenderaan Tuan Gabenor di hadapan Juha....tiba-tiba berhenti kenderaan tersebut....lantas serta merta Tuan Gabenor turun dari kenderaan seraya berkata : "Wahai saudara ! mengapalah kamu tidak beritahu aku bahawa kamu datang kesini ! sudahlah begitu kamu tidak mahu berziarah ke istana pulak tu !. Sesungguhnya kami semua terlalu merindui kamu kerana sudah lama tak jumpa !".....Juha terus bangun lantas memeluk Tuan Gabenor dengan begitu mesra sekali.

Ini semakin menjadikan orang tua tadi kehairanan. Tahulah dia bahawa Juha bukan sebarang orang....dia dari kerabat Tuan Gabenor juga...mulalah dia merasa serba salah. Sebelum Tuan Gabenor beredar Juha berkata :
"Baiklah ! nanti aku akan pergi ke istana....sebab aku ada beberapa urusan yang mesti di selesai hari ini. Kalau tak selesai nanti aku beritahu kamu lah kerana sebenarnya aku tidak mahu menyusah-nyusahkan kamu dan aku yakin bahawa sudah pasti kamu akan dapat membantu aku. Nanti sajalah kita bertemu di istana... !". Tuan Gabenor pun memberi salam : "Assalamualaikum !"...jawab Juha : "Waalaikumussalam !".

Melihat yang demikian orang tua tadi hampir-hampir mahu pengsan, tahulah dia bahawa selama ini dia sengaja menempah bala. Dia telah bermusuhan dengan kerabat istana....dia tahu sendiri apa balasan yang sedang menunggunya. Tanpa banyak bicara terus dia berlari masuk ke dalam istana....di ambilnya rantai emas dari laci meja...lalu berlari semula keluar kedai menemui Juha sambil katanya dalam ketakutan : "Wahai Tuan ! ambil lah semua rantai emas yang kamu amanahkan kepadaku dulu. Aku minta maaf banyak-banyak !...aku berjanji tidak akan melakukannya lagi!" sambil dia mencium-cium tangan Juha.

Melihatkan yang demikian pengawal istana terus menangkap orang tua tersebut....jelaslah bahawa selama ini memang orang tua tersebut suka berbuat khianat kepada sesiapa yang ada memberi amanah kepadanya. Orang tua tersebut terus di bawah ke istana untuk di bicarakan... setelah mengaku bersalah Tuan gabenor pun mengambil keputusan supaya dia di penjara buat seketika untuk memberi pengajaran kepadanya. Sambil beliau berkata :

"Memang benarlah bahawa kamu ini adalah salah seorang yang telah di sabdakan oleh baginda Rasulullah saw dalam hadisnya yang berbunyi : "Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga : "Bila berkata-kata dia dusta, bila berjanji dia ingkari dan bila di beri amanah dia khianat !"...maka balasan untuk orang seperti kamu ini ialah penjara di dunia dan neraka di akhirat !".

Mendengar yang demikian orang tua tadi menjerit-jerit meminta maaf dari Juha dan juga dari Tuan Gabenor moga di ampunkan kesalahannya...dan dia benar-benar bertaubat : "Maafkanlah aku ! maafkanlah aku ! aku bertaubat dan aku berjanji tidak akan berlaku khianat lagi !".

------------------------------------------------------------------------------------------

Takziah kepada keluarga Rasulullah SAW

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Tafsir: “Bercerita kepadaku ayahku, yang didengarnya dari Abdul Aziz Al-Ausiy, dari Ali bin Abu Ali, dari Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husain, dari ayahnya, katanya Ali bin Abi Talib berkata: “Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah ucapan takziah. Datang kepada mereka (keluarga Nabi SAW) orang yang memberi takziah. Mereka mendengar orang memberi takziah tetapi tidak melihat orangnya. Bunyi suara itu begini:

‘Assalamu Alaikum Ahlal Bait Warahmatullahi Wabarakatuh. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanyasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah bagi setiap musibah, bagi Allah ada pengganti setiap ada yang binasa, begitu juga menemukan bagi setiap yang hilang. Kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.”

Berkata Jakfar: “Bercerita kepadaku ayahku bahawa Ali bin Abi Talib ada berkata: “Tahukah kamu siapa ini? Ini adalah suara Nabi Khidir.” Berkata Muhammad bin Jakfar: “Adalah ayahku, iaitu Jakfar bin Muhammad, menyebutkan tentang riwayat dari ayahnya, dari datuknya, dari Ali bin Abi Talib bahawa datang ke rumahnya satu rombongan kaum Quraisy kemudian dia berkata kepada mereka: “Mahukah kamu aku ceritakan kepada kamu tentang Abul Qasim (Muhammad SAW)?”

Kaum Quraisy itu menjawab: “Tentu sahaja mahu.”

Ali bin Abi Talib berkata: “Jibril Alaihis salam pernah berkata kepada Rasulullah SAW: “Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahmad. Inilah akhir watanku (negeriku) di bumi. Sesungguhnya hanya engkaulah hajatku di dunia.” Maka tatkala Rasulullah SAW wafat, datanglah orang yang memberi takziah, mereka mendengarnya tetapi tidak melihat orangnya. Orang yang memberi takziah itu berkata: “Selamat sejahtera ke atas kamu wahai ahli bait. Sesungguhnya pada agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan bagi Allah ada yang menggantikan setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.” Mendengar yang demikian Ali bin Abi Talib berkata: “Tahukah kamu siapa yang datang itu? Itu adalah Khidir.”

Berkata Saif bin Amr At-Tamimi dalam kitabnya Ar-Riddah, yang diterimanya dari Sa’id bin Abdullah, dari Ibnu Umar mengatakan: “Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah Abu Bakar ke rumah Rasulullah. Ketika beliau melihat jenazah Rasulullah SAW, beliau berkata: “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.” Kemudian beliau bersama sahabat-sahabat yang lain menyembahyangkan jenazah Rasulullah SAW. Pada waktu mereka menyembahyangkan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendengar suara ajaib. Selesai solat dan mereka pun semuanya sudah diam, mereka mendengar suara orang di pintu mengatakan: “Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahli Bait. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Hanyasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya pada agama Allah ada pengganti setiap ada yang binasa dan ada kelepasan dari segala yang menakutkan. Kepada Allah-lah kamu mengharap dan dengan-Nya berpegang. Orang yang diberi musibah akan diberi ganjaran. Dengarlah itu dan hentikan kamu menangis itu."

Mereka melihat ke arah suara itu tetapi tidak melihat orangnya. Kerana sedihnya mereka menangis lagi. Tiba-tiba terdengar lagi suara yang lain mengatakan: “Wahai Ahli Bait, ingatlah kepada Allah dan pujilah Dia dalam segala hal, maka jadilah kamu golongan orang mukhlisin. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan ada pengganti setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya taat. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah orang yang diberi pahala.” Mendengar yang demikian itu berkata Abu Bakar: “Ini adalah Khidir dan Ilyas. Mereka datang atas kematian Rasulullah SAW.”

Berkata Ibnu Abu Dunia, yang didengarnya dari Kamil bin Talhah, dari Ubad bin Abdul Samad, dari Anas bin Malik, mengatakan: “Sewaktu Rasulullah SAW meninggal dunia, berkumpullah sahabat-sahabat beliau di sekeliling jenazahnya menangisi kematian beliau. Tiba-tiba datang kepada mereka seorang lelaki yang bertubuh tinggi memakai kain panjang. Dia datang dari pintu dalam keadaan menangis. Lelaki itu menghadap kepada sahabat-sahabat dan berkata: “Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, ada pengganti setiap ada yang hilang. Bersabarlah kamu kerana sesungguhnya orang yang diberi musibah itu akan diberi ganjaran.”

Kemudian lelaki itu pun menghilang daripada pandangan para sahabat. Abu Bakar berkata: “Datang ke sini lelaki yang memberi takziah.” Mereka memandang ke kiri dan kanan tetapi lelaki itu tidak nampak lagi. Abu Bakar berkata: “Barangkali yang datang itu adalah Khidir, saudara nabi kita. Beliau datang memberi takziah atas kematian Rasulullah SAW.”

Dari tadi sudah banyak kita lihat ucapan-ucapan takziah yang hampir sama kata-katanya. Ada yang mengatakan hadis ini daif. Ubad yang meriwayatkan hadis ini tidak diiktiraf oleh Imam Bukhari.

Berkata Ibnu Syahin dalam kitabnya Al-Jana’iz: “Bercerita kepada kami Ibnu Abu Daud, dari Ahmad bin Amr, dari Ibnu Wahab, dari Muhammad bin Ajlan, dari Muhammad bin Mukandar, berkata: “Pernah pada suatu hari Umar bin Khattab menyembahyangkan jenazah, tiba-tiba beliau mendengar suara di belakangnya: “Ala, janganlah duluan dari kami mengerjakan solat jenazah ini. Tunggulah sudah sempurna dan cukup orang di belakang baru memulakan takbir.” Kemudian lelaki itu berkata lagi: “Kalau engkau seksa dia ya Allah, maka sesungguhnya dia telah derhaka kepada-Mu. Tetapi kalau Engkau mahu mengampuni dia, maka dia betul-betul mengharap keampunan daripada-Mu.” Umar bersama sahabat-sahabat yang lain sempat juga melihat lelaki itu. Tatkala mayat itu sudah dikuburkan, lelaki itu masih meratakan tanah itu sambil berkata: “Beruntunglah engkau wahai orang yang dikuburkan di sini.”

Umar bin Khattab berkata: “Tolong bawa ke sini lelaki yang bercakap itu supaya kita tanya tentang solatnya dan maksud kata-katanya itu.” Tiba-tiba lelaki itu pun sudah menghilang dari pandangan mereka. Mereka mencari ke arah suaranya tadi tiba-tiba mereka melihat bekas telapak kakinya yang cukup besar. Umar bin Khattab berkata: “Barangkali yang datang itu adalah Khidir yang pernah diceritakan oleh Nabi kita Muhammad SAW.”
Ada juga yang mengatakan hadis ini tidak sahih. Kata Ibnu al-Jauzi hadis ini majhul (tidak dikenal) dan dalam sanadnya ada yang terputus di antara Ibnul Mukandar dengan Umar.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Khidir datang menegur peniaga

Berkata Ibnu Abu Dunia: “Bercerita kepadaku ayahku, yang didengarnya dari Ali bin Syaqiq, dari Ibnu Al-Mubarak, dari Umar bin Muhammad bin Al-Mukandar, berkata: “Ada seorang peniaga yang banyak memuji-muji barangnya dan banyak bersumpah untuk meyakinkan orang lain (pembeli). Tiba-tiba datang kepadanya seorang tua dan berkata: “Wahai peniaga, juallah barangmu tetapi jangan banyak bersumpah.” Peniaga itu masih banyak bercakap dan bersumpah, yang menyebabkan orang tua itu berkata lagi: “Wahai pedagang, berniagalah secara jujur dan jangan banyak bersumpah.” Bahkan orang tua itu berkata lagi: “Berniagalah secara yang patut sahaja.” Peniaga itu berkata: “Inilah yang patut saya lakukan.” Kemudian orang tua itu berkata: “Utamakanlah kejujuran walaupun berat melakukannya dan tinggalkan berbohong walaupun ia akan membawa keuntungan.”

Akhirnya peniaga itu berkata: “Kalau begitu tuliskanlah semua apa yang engkau sebutkan ini. “Orang tua itu berkata: “Kalau ditakdirkan sesuatu itu maka adalah ia.” Menurut mereka yang datang menegur itu adalah Nabi Khidir.
Diriwayatkan oleh Abu Amr, dari Yahya bin Abi Talib, dari Ali bin Ashim, dari Abdullah, berkata: “Pernah Ibnu Umar duduk-duduk di satu tempat, sedangkan seorang lelaki (tidak berapa jauh dari tempatnya) sudah mula membuka jualannya. Peniaga itu banyak bersumpah untuk melariskan jualannya. Tiba-tiba datang kepadanya seorang lelaki dan berkata: “Takutlah kepada Allah dan jangan berbohong. Hendaklah engkau berkata jujur walaupun berat melakukannya dan jauhilah berdusta walaupun ia membawa manfaat. Dan jangan tambah-tambah dari cerita orang lain (apa yang ada).”

Ibnu Umar yang mendengar teguran orang tua itu berkata kepada peniaga itu: “Pergi ikuti dia dan suruh supaya dia tulis apa yang disebutkannya tadi.” Peniaga itu pergi mengikutinya dan meminta supaya menuliskan apa yang disebutkannya tadi tetapi orang tua itu hanya berkata: “Kalau sesuatu itu sudah ditentukan Allah, maka adalah ia.” Kemudian orang tua itu pun tiba-tiba sahaja menghilang. Peniaga itu kembali menjumpai Ibnu Umar serta menceritakan apa jawapan orang tua itu. Ibnu Umar berkata: “Yang datang itu adalah Nabi Khidir.”

Tetapi kata Ibnu Al-Jauzi hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Ahsim daif. Bahkan katanya Ali bin Ashim itu lemah ingatannya.

Ada juga riwayat yang hampir sama dengan ini menyebutkan: “Ada dua orang lelaki yang berjualan tidak berapa jauh dari Abdullah bin Umar. Salah seorang dari peniaga itu banyak bersumpah untuk melariskan barang-barang jualannya. Ketika ghairah bercerita mempromosikan jualannya, tiba-tiba datang seorang lelaki kemudian berkata kepada peniaga yang banyak bersumpah itu: “Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan jangan banyak bersumpah. Sesungguhnya tidak akan bertambah rezekimu jika engkau banyak bersumpah. Dan sebaliknya, tidak akan mengurangkan kepada rezekimu jika engkau tidak bersumpah. Oleh itu bercakaplah yang wajar-wajar sahaja.”

Peniaga itu menjawab: “Inilah yang saya anggap wajar.”

Lelaki tua itu mengulang nasihatnya lagi. Dan ketika dia sudah mahu pergi, dia berkata lagi: “Ketahuilah bahawa termasuk daripada iman ialah mengutamakan kejujuran walaupun berat melaksanakannya dan meninggalkan pembohongan walaupun dianggap membawa keuntungan.”

Setelah memberi nasihat atau teguran, lelaki itu pun pergi. Ibnu Umar berkata kepada peniaga itu: “Kejar dia dan minta supaya ditulisnya apa yang disebutkannya tadi.” Peniaga itu pergi mengejarnya dan berkata kepadanya: “Wahai hamba Allah, tuliskanlah apa yang engkau sebutkan tadi supaya tuan dirahmati Allah.” Lelaki itu tidak ada menulisnya tetapi mengulangi apa yang disebutkannya tadi. Jadi, menurut Ibnu Umar yang datang itu adalah Nabi Khidir.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Kisah Khidir dan Abu Mahjan


Diriwayatkan oleh Saif dalam kitab Al-Futuh, bahawa satu jemaah berada bersama Saad bin Abi Waqqas, maka mereka melihat Abu Mahjan berperang, maka yang meriwayatkan ini pun menceritakan kisah Abu Mahjan secara panjang lebar. Dari kesimpulan cerita-cerita mereka mengatakan bahawa Nabi Khidir masih hidup pada zaman itu.

Berkata Abu Abdullah bin Battah: “Bercerita kepada kami Syuaib bin Ahmad, yang didengarnya dari ayahnya, dari Ibrahim, bin Abdul Hamid, dari Ghalib bin Abdullah, dari Hasan Basri berkata: “Seorang lelaki berfahaman Ahli Sunnah Waljamaah berlainan pendapat dan berhujah dengan seorang lelaki bukan Ahli Sunnah. Mereka berdebat mengkaji masalah qadar. Mereka berdebat di tengah-tengah perjalanan. Masing-masing mereka mempertahankan pendapatnya dan berbantah dengan suara yang kuat tetapi akhirnya sepakat siapa yang duluan datang ke tempat mereka berhujah itu akan diangkat sebagai pemutus di antara mereka.

Tidak lama kemudian, muncullah seorang lelaki memikul bungkusan sedangkan rambut dan pakaiannya sudah berabu dan jalannya menunjukkan seolah-olah sudah kepenatan. Mereka berkata kepada lelaki itu: “Tadi kami berdebat tentang qadar dan masing-masing di antara kami memberikan hujah dan dalilnya tetapi tidak tahu siapa di antara kami yang benar. Kami sudah sama-sama setuju bahawa siapa orang yang mula-mula datang ke tempat ini akan kami angkat sebagai hakim. Maka sekarang kami minta tolong kepada tuan untuk menghakimi kami.”

Lelaki itu meletakkan bungkusannya kemudian duduk. Setelah berehat sebentar dan nafasnya sudah mulai tenang, dia berkata: “Kalau begitu duduklah kamu disini.” Kemudian lelaki itu menghakimi mereka secara bijaksana.” Menurut Hasan Basri lelaki yang mengadili mereka itu adalah Nabi Khidir.

^ Kembali ke atas ^

Nabi Khidir memberi pengajaran

Diriwayatkan oleh Hammad bin Umar, dari A-Sara bin Khalid, dari Jakfar bin Muhammad, dari ayahnya, dari datuknya Ali bin Husain, katanya pembantu mereka pergi berlayar menaiki kapal. Ketika dia mahu mendarat tiba-tiba dia melihat di atas pantai duduk seorang lelaki yang sedang menerima hidangan makanan dari langit. Makanan itu diletakkan di hadapannya kemudian dia pun memakannya. Setelah dia kenyang, makanan itu diangkat semula ke langit. Pembantu yang merasa hairan itu memberanikan dirinya mendekati orang itu sambil berkata kepadanya: “Hamba Allah yang manakah engkau ini?” Lelaki itu berkata: “Aku adalah Khidir yang barangkali engkau sudah pernah mendengar nama itu.” Pembantu itu bertanya lagi: “Dengan (amalan) apakah didatangkan kepadamu makanan dan minuman ini?”

Lelaki itu menjawab: “Dengan nama Allah yang Maha Agung.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Al-Zuhdi, yang diterima dari Hammad bin Usamah, dari Mas’ar, dari Maan bin Abdul Rahman, dari Aun bin Abdullah, dari Utbah, dari Ibnu Mas’ud, mengatakan: “Ada seorang lelaki di Mesir sedang bercucuk tanam di kebunnya. Ketika itu dia sedang gelisah dan dia tunduk mengerjakan ladangnya. Ketika dia mengangkat kepalanya, tiba-tiba di melihat di hadapannya ada seorang lelaki sedang berdiri memperhatikan apa yang dilakukannya dan memandangi wajahnya. Lelaki itu berkata kepadanya: “Kuperhatikan dari tadi engkau murung dan gelisah, mengapa begitu?” Lelaki yang bercucuk tanam itu berkata: “Tidak ada apa-apa.”

Kemudian lelaki yang datang tadi berkata: “Dunia adalah kesenangan yang sedikit dan masanya amat terhad, dan kesenangan itu dinikmati oleh orang baik dan orang jahat. Sedangkan akhirat kesenangan yang hakiki dan abadi.”
Mendengar yang demikian lelaki yang bercucuk tanam itu berkata: “Sebenarnya saya sedih memikirkan keadaan kaum muslimin sekarang ini. Orang yang datang itu berkata: “Allah SWT akan membebaskanmu dari kesusahan kerana engkau ambil-berat terhadap nasib kaum Muslimin. Cuba tanya siapakah orangnya yang meminta kepada Allah kemudian Allah tidak memenuhi permintaannya, siapakah orang yang doanya tidak terkabul? Siapakah yang berserah kepada Allah lalu Allah tidak melindunginya?” Mus’ir berkata: “Menurut mereka orang yang memberi pengajaran itu adalah Khidir.”

--------------------------------------------------------------------------------------------

Nabi Khidir datang ke Baitul Haram

Berkata Abu Naim dalam kitab Al-Hilyah: “Bercerita kepada kami Ubaidullah bin Muhammad, dari Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Mansur, dari Ahmad bin Jamil, katanya berkata Sufyan bin Ainah: “Pada waktu saya tawaf di Baitullah, tiba-tiba saya melihat seorang yang sedang memimpin satu kumpulan manusia mengerjakan tawaf. Saya bersama orang yang berdiri di sekelilingku memperhatikan lelaki itu. Ada di antara mereka yang berkata: “Lelaki yang memimpin kumpulan yang tawaf itu nampaknya seorang yang ikhlas dan berilmu.” Kami amati dia bahkan kami ikuti ke mana dia pergi. Lelaki itu pergi ke maqam kemudian mengerjakan solat di situ. Selesai solat dia menadahkan kedua tangannya dan berdoa. Setelah itu dia melihat ke arah kami dan berkata: “Tahukah kamu apa kata Tuhan kamu?”

Kami jawab: “Tidak.” Dia berkata: “Tuhan kamu berkata: “Aku adalah raja. Kamu mendakwa diri kamu sebagai raja.” Kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah kiblat, menadahkan tangannya sebagai tanda berdoa kemudian berpaling kepada kami dan berkata: “Tahukah kamu apa kata Tuhan kamu?” Kami jawab: “Tidak.” Dia berkata: “Tuhan kamu berkata: “Akulah yang hidup dan tidak akan mati untuk selamanya. Kamu mendakwa diri kamu hidup dan tidak akan mati."

Setelah itu dia menghadap ke arah kiblat dan mendoa. Selesai berdoa berpaling kepada kami sambil berkata: “Tahukah kamu apa kata Tuhan kamu?” Kami jawab: “Tidak.” Dia berkata: “Tuhan kamu berkata: “Akulah Tuhan yang apabila menghendaki sesuatu akan ada ia. Ada di antara kamu yang mengaku apabila menginginkan sesuatu akan ada.”

Kata Ibnu Ainah lagi: “Kemudian dia pun pergi dan kami tidak melihatnya lagi. Setelah itu saya berjumpa dengan Sufyan As-Tsauri dan dia berkata: “Barangkali lelaki itu adalah Khidir atau wali Allah yang lain.”

Ada diceritakan ketika Hasan Basri berceramah di hadapan jemaahnya, tiba-tiba datang seseorang yang matanya kehijau-hijauan. Melihat yang demikian Hasan Basri bertanya kepadanya: “Apakah memang begini engkau dilahirkan oleh ibumu atau ini sebagai tanda?” Orang yang baru datang itu berkata: “Apakah sememangnya engkau kenal kepadaku wahai Abu Said?” Hasan Basri berkata: “Siapa engkau sebenarnya?” Lelaki itu memperkenalkan dirinya sehingga jelas bagi semua jemaah yang ada di tempat itu. Hasan Basri berkata lagi: “Tolong ceritakan bagaimana kisahmu.”

Lelaki itu berkata: “Pernah pada suatu hari dahulu aku mengangkut semua barang-barangku ke dalam kapal. Aku pun berlayar menuju Cina. Ketika berlayar mengharungi lautan yang dalam, tiba-tiba angin bertiup kencang. Terjadi ombak yang begitu hebat dan kapal yang saya naiki pun terbalik. Rupanya ajalku belum tiba, aku dibawa oleh ombak ke pantai. Aku terdampar di satu pulau yang tidak didiami oleh manusia. Empat bulan lamanya aku keseorangan di pulau itu. Makanan tidak ada kecuali daun-daunan dan batang kayu yang lapuk. Bahkan minuman pun tidak ada kecuali air mata yang sentiasa mengalir kerana sedihnya.

Tidak terdaya lagi menahankan hidup seperti itu sehingga aku sudah bermaksud berenang menyeberangi lautan yang luas itu. Ketika berjalan mendekati laut yang ombaknya melambai-lambai itu, tiba-tiba di hadapanku sudah ada istana yang pintunya seperti perak. Kubuka pintunya rupanya di dalam ada bilik-bilik dan beberapa ruang tamu yang lengkap dengan perhiasan. Di dalam istana itu juga ada beberapa buah peti yang dihiasi dengan permata. Aku buka salah satu peti itu. Aku dekati peti itu kemudian terasalah semerbak yang cukup harum. Aku buka perlahan-lahan, rupanya di dalam ada mayat yang masih segar seperti orang tidur. Aku tutup semula peti itu kemudian aku keluar dari istana itu.

Sebaik sahaja turun dari tangga istana, aku berjumpa dengan dua orang pemuda kacak dan nampak ramah.
Mereka bertanya siapa aku dan aku pun memberikan butir-butir peribadiku. Mereka berkata: “Pergilah ke pohon sana. Di bawah pohon itu ada taman yang indah. Dan di situ nanti ada orang tua yang sedang mengerjakan solat. Dia itu baik orangnya. Ceritakan dirimu dan keadaanmu kepadanya kemudian nanti dia akan menunjukkan jalan kepadamu.”

Aku pun pergi ke pohon yang mereka tunjukkan itu. Memang benar, di bawahnya ada seorang lelaki tua sedang duduk berzikir. Aku ucapkan salam kepadanya kemudian dia pun menjawabnya. Dia tanya siapa diriku kemudian aku pun menerangkannya. Dia tanya mengapa aku sampai di tempat itu kemudian aku ceritakan semuanya. Lelaki itu terdiam sejenak merenungkannya. Dia tanya mengapa aku sampai di tempat itu kemudian aku ceritakan semuanya.

Lelaki itu terdiam sejenak merenungkan perjalananku dan macam-macam yang aku lihat sebelumnya. Dia tanya lagi di mana kampungku kemudian aku ceritakan. Kemudian lelaki itu berkata: “Kalau begitu duduklah dahulu.”
Aku duduk sahaja memperhatikan lelaki itu. Tidak lama kemudian datanglah tumpukan awan mendekati beliau.

Anehnya awan itu sanggup berkata seperti manusia dengan ucapan: “Assalamu Alaikum ya wali Allah.” Beliau menjawab salam awan itu kemudian awan itu pun berhenti di hadapan beliau.

Beliau bertanya kepada awan itu: “Ke mana engkau mahu pergi?” Awan itu menjawab: “Aku mahu pergi ke kampung ini dan kampung ini.” Kemudian awan itu pun pergi seperti ditiup angin. Datang lagi awan-awan yang lain dan kesemuanya berhenti di depan beliau. Beliau bertanya lagi kepada awan yang datang kemudian: “Ke mana engkau mau pergi?” Awan itu menjawab: “Saya mahu pergi ke Basrah.” Beliau berkata: “Kalau begitu turun dahulu.” Awan itu turun dan berhenti di hadapan beliau. Beliau berkata: “Bawa orang ini ke depan rumahnya dengan selamat.”

Nampaknya awan itu sudah siap untuk mengangkut saya. Sebelum berangkat, saya bertanya kepada orang tua itu: “Demi Tuhan yang telah memuliakan engkau, tolong ceritakan kepadaku apa itu istana tadi, siapa dua orang pemuda itu dan siapa engkau.”

Orang tua itu berkata: “Istana yang engkau lihat tadi adalah tempat para syuhada yang gugur di laut. Orang-orang yang mati syahid di laut telah diangkut oleh malaikat. Mayat para syuhada itu mereka masukkan ke dalam peti yang dihiasi dengan emas dan permata, disembur dengan wangi-wangian dan mereka masukkan (simpan) di dalam istana seperti yang engkau lihat tadi. Dua orang pemuda tampan yang engkau jumpai tadi adalah malaikat yang disuruh Allah untuk menguruskan mereka pada waktu pagi dan petang. Sedangkan aku ini adalah Khidir. Aku dahulu ada memohon kepada Allah supaya mengumpulkan atau menggabungkan aku dengan umat nabi kamu Muhammad SAW.”

Lelaki yang dibawa awan dan datang menjumpai Hasan Basri itu berkata lagi: “Sewaktu terbang bersama awan, aku terperanjat kerana melihat sesuatu yang mengejutkan. Dan itulah sebabnya mataku seperti yang engkau lihat ini.”

Mendengar yang demikian Hasan Basri berkata: “Sungguh mengagumkan pengalaman hidupmu.”

Menurut satu riwayat, Raja Sulaiman bin Abdul Malik telah menyuruh menterinya menangkap seorang lelaki yang sangat dikehendaki untuk dibunuh. Sebaik sahaja mengetahui perintah raja itu, lelaki yang dicari tadi segera melarikan diri. Lelaki itu lari ke kampung lain. Di kampung itu dia mendengar berita hangat bahawa orang bernama ini disuruh tangkap untuk dibunuh. Dia semakin ketakutan kemudian lari lagi ke kampung lain. Di kampung itu pun rupanya sudah gempar berita itu yang menyebabkan dia lari lagi ke kampung lain. Begitulah yang dia dengar setiap pergi ke satu kampung. Akhirnya dia terfikir untuk lari ke negeri di luar kekuasaan Sulaiman bin Abdul Malik.

Sekarang dia sudah sampai di satu padang pasir yang amat luas, yakni di tempat itu tidak ada pokok yang tumbuh, tidak ada air dan makanan apapun, bahkan nampaknya tempat itu adalah tanah yang tidak pernah diinjak oleh manusia.

Di situ dia melihat seorang lelaki tengah mengerjakan solat. Dia pandang di sekeliling orang yang solat itu, ternyata tidak ada tunggangan, tidak ada bekalan dan sebagainya. Dia begitu hairan melihat lelaki itu mengapa berada seorang diri di tempat itu. Dia ingin mendekati lelaki itu tetapi tidak jadi kerana ketakutan. Hatinya bertanya: “Ini manusia atau jin ini.” Dia beranikan dirinya untuk mendekati lelaki itu. Kemudian lelaki itu memandang ke arahnya dan berkata: “Barangkali Sulaiman bin Abdul Malik yang membuatmu ketakutan sehingga tersesat ke tempat ini.” Dia berkata: “Betul tuan.” Lelaki itu berkata: “Mengapa tidak engkau buat pendinding dirimu?” Dia bertanya: “Pendinding apa maksudnya?” Lelaki itu berkata: “Bacalah zikir seperti ini (yang maksudnya):
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha Esa yang tidak ada Tuhan selain-Nya.
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha terdahulu dan tidak ada yang menjadikan-Nya.
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha Kekal dan tidak akan binasa.
Maha Suci (Tuhan) Yang Dia setiap hari dalam kesibukan.
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan.
Maha Suci (Tuhan) yang telah menciptakan apa yang dilihat dan tidak kelihatan.
Maha Suci (Tuhan) yang mengajari segala sesuatu tanpa pengajaran secara langsung.

Dalam zikir di atas ada dinyatakan bahawa Allah setiap hari atau waktu berada dalam kesibukan. Ini sebenarnya ada ditemui di dalam Quran, iaitu ayat yang mengatakan: Setiap waktu Dia (Allah) dalam kesibukan.
(Al-Rahman: 29)
Maksudnya Allah SWT sentiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezeki kepada semua makhluk dan sebagainya.

Orang itu berkata: “Bacalah zikir ini.” Lelaki itu berkata: “Maka saya pun menghafal zikir itu dan membacanya. Tiba-tiba lelaki itu sudah menghilang dan tidak nampak lagi. Tetapi berkat amalan itu, perasaan takut sudah hilang dari diriku. Aku sudah bermaksud pulang ke kampungku menjumpai keluargaku, bahkan aku ingin pergi menjumpai Sulaiman bin Abdul Malik.

Pada suatu hari, yang mana rakyat jelata dibolehkan berjumpa dengannya, saya pun masuk ke istananya. Sebaik sahaja saya masuk ke ruang tamunya, dia memandangiku seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Dia mendekati aku kemudian berkata: “Engkau telah menyihir aku.” Saya jawab dengan tenang: “Wahai Amirul Mukminin, saya tidak ada mengguna-guna tuan. Saya tidak pernah belajar ilmu sihir dan saya tidak ada menyihir tuan.”

Sulaiman bin Abdul Malik menerangkan apa yang ada dalam hatinya secara jujur: “Dulu aku begitu marah melihat engkau. Aku sudah bertekad akan membunuh engkau. Rasanya kerajaanku ini tidak sempurna kalau tidak membunuh engkau. Tetapi setelah melihat wajahmu tadi, aku begitu sayang kepada engkau. Sekarang ceritakan secara jujur apa yang engkau amalkan itu. Dia pun menyebutkan zikir tadi. Mendengar yang demikian Sulaiman bin Abdul Malik berkata: “Demi Allah Khidirlah yang mengajarkan amalan itu kepadamu.” Akhirnya raja memaafkan segala kesalahannya dan menyayanginya.

----------------------------------------------------------------------------------------

Amalan yang paling disukai Allah

Dari Raja’, beliau berkata: “Pernah pada suatu hari ketika saya berada di samping Sulaiman bin Abdul Malik, tiba-tiba datang seorang lelaki tampan. Lelaki itu memberi salam kemudian kami jawab. Kemudian dia berkata: “Wahai Raja’, sesungguhnya telah diuji keimananmu ketika engkau dekat dengan lelaki ini (Raja Sulaiman). Kalau engkau dekat dengan dia, maka engkau akan celaka. Wahai Raja’, engkau mesti sentiasa berbuat baik dan menolong orang-orang lemah. Ketahuilah wahai Raja’, sesiapa yang mempunyai kedudukan di kerajaan sultan, lalu dia mengangkat hajat orang-orang lemah yang mereka tidak sanggup menyampaikannya, maka orang yang mengangkat atau menyampaikan itu akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan kedua tumitnya tetap ketika berhisab. Ketahuilah wahai Raja’ bahawa sesiapa yang menunaikan hajat saudaranya sesama muslim maka Allah akan menunaikan hajatnya. Dan ketahuilah wahai Raja’ bahawa amalan yang paling disukai Allah ialah amalan menyenangkan hati orang mukmin.”

Setelah memberikan pengajaran yang bernas itu, tiba-tiba lelaki itu sudah menghilang. Ramai yang berpendapat bahawa yang datang memberikan pengajaran itu ialah Nabi Khidir.

Mas’ab bin Thabit bin Abdullah bin Zubair adalah seorang yang rajin beribadat. Dia selalu berpuasa dan mengerjakan solat tidak kurang dari seribu rakaat sehari semalam. Dia ada berkata: “Pernah ketika aku berada di dalam masjid sedangkan orang semuanya sudah pulang, ke rumah masing-masing, tiba-tiba datang seorang lelaki yang tidak saya kenal. Lelaki itu menyandarkan badannya ke dinding masjid sambil berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahawa aku berpuasa sejak kelmarin. Sampai sekarang pun aku masih berpuasa. Aku tidak mendapatkan makanan dan minuman dan aku menginginkan al-Tharid (nama makanan). Berikanlah kepadaku ya Allah makanan dari sisi Engkau.”

“Tiba-tiba saya melihat seorang pelayan datang membawa hidangan. Pelayan itu nampaknya tidak seperti orang biasa. Orangnya tampan, bersih dan pakaiannya kemas. Dia berjalan ke arah lelaki yang berdoa tadi sambil meletakkan hidangan itu di hadapannya. Lelaki itu pun membetulkan duduknya menghadap hidangan itu. Sebelum mencicipi makanan itu dia memandang saya dan mengajak saya supaya ikut makan bersamanya. Hatiku berkata: “Syukur dia mengajak saya makan bersama.” Ketika itu saya yakin makanan itu didatangkan dari syurga sehingga saya pun ingin betul mencuba. Baru sedikit saya cuba tahulah saya bahawa makanan itu bukan makanan yang biasa di dunia ini.

Sebenarnya saya merasa segan dan malu kepada orang yang tidak saya kenal itu. Belum lagi kenyang rasa perutku saya sudah mengucapkan terima kasih dan pergi ke tempatku semula tadi. Tetapi saya masih terus memperhatikan lelaki itu. Setelah dia selesai makan, datang lagi pelayan tadi mengambil hidangan itu. Dia pergi lagi ke arah tempat datang tadi. Lelaki yang baru selesai makan itu pun sudah berdiri dan nampak pergi. Aku kejar dia kerana ingin tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi malangnya dia tiba-tiba saja menghilang dan saya tidak tahu ke mana perginya. Besar kemungkinan lelaki itu adalah Nabi Khidir.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, dari Ibrahim bin Abdullah bin Al-Mughirah, dari Abdullah, berkata: “Telah bercerita kepadaku ayahku bahawa pengurus sebuah masjid berkata kepada Walid bin Abdul Malik: “Sesungguhnya Nabi Khidir sembahyang setiap malam di masjid.”

Dari Daud bin Yahya, katanya bercerita seorang lelaki yang selalu berada di Baitul Maqdis: “Pada waktu saya berjalan di salah satu lembah di Jordan, saya melihat di lembah bukit itu ada orang yang sedang mengerjakan solat. Saya lihat di atasnya ada awan yang melindunginya daripada panas matahari. Menurut tekaanku lelaki itu adalah Nabi Ilyas. Saya dekati dia kemudian kuucapkan salam kepadanya. Dia berpaling kepadaku sambil menjawab salamku. Aku tanya: “Siapa anda sebenarnya wahai orang yang dirahmati Allah?” Dia diam sahaja dan tidak menjawab soalanku. Kutanya lagi seperti soalan pertama kemudian dia menjawab: “Aku adalah Ilyas An-Nabi.”

Tiba-tiba sahaja merinding bulu romaku. Aku gementar, dan yang paling kutakutkan dia menghilang sebelum saya sempat menanyakan itu dan ini. Aku berkata kepadanya: “Tolong doakan supaya Allah menghilangkan penyakitku ini." Dia pun berdoa. Tiba-tiba penyakitku terasa sudah sembuh.

Aku tanya lagi: “Kepada siapa tuan diutus?” Beliau menjawab: “Aku diutus kepada penduduk Baklabakka.” Kutanya lagi: “Apakah sekarang ini tuan masih ada menerima wahyu?” Beliau menjawab: “Bukankah sudah diutus Muhammad sebagai nabi penutup? Aku tidak ada menerima wahyu lagi.”

Katanya lagi: “Kalau begitu berapa lagi nabi yang masih hidup sekarang ini?” Beliau menjawab: “Sekarang ada empat orang lagi nabi yang masih hidup, iaitu saya sendiri (Ilyas), Khidir di bumi (darat), dan Nabi Idris bersama nabi Isa di langit.”

Kutanya lagi: “Apakah tuan pernah berjumpa dengan Nabi Khidir?” Beliau menjawab” “Ya, setiap tahun kami berjumpa di padang Arafah, yakni pada musim haji.”

Kutanya: “Apa yang kamu lakukan jika berjumpa di sana?” Beliau menjawab: “Aku ambil rambutnya kemudian dia pun mengambil (mencukur rambutku).”

Kutanya lagi: “Berapa orang lagi Al-Abdal (Wali Allah yang lain)?” Beliau menjawab: “Ada 60 orang lelaki. 50 orang berada di kawasan Mesir sampai pantai Furat, 2 orang di Masisah, 1 orang di Antokiah dan 7 orang di pelbagai penjuru dunia. Merekalah yang mengatur hujan dan mereka yang menolong untuk mengalahkan musuh Allah, bahkan di tangan mereka berdirinya dunia ini, dia matikan mereka semua supaya dunia ini pun hancur.” Ini menurut satu pendapat sangat tidak sahih.

----------------------------------------------------------------------------------------

Nabi Khidir mengubati dengan Asmaul Husna

Berkata Abul Hasan bin Al-Munadi: “Bercerita kepada kami Ahmad bin Mulaib, dari Yahya bin Said, dari Abu Jakfar Al-Kufi, dari Abu Umar Al-Nasibiy, berkata: “Aku pergi mencari Maslamah bin Masqalah di Syam. Ramai yang mengatakan Maslamah termasuk wali Allah juga. Setelah berusaha mencarinya, saya menjumpainya di salah satu lembah di Jordan.

Beliau berkata kepadaku: “Mahukah engkau kuceritakan kepadamu tentang apa yang kulihat tadi di lembah bukit ini?” Kujawab: “Tentu aku ingin mendengarnya.” Beliau berkata: “Ketika saya datang tadi ke lembah ini, saya melihat seorang syekh yang sedang mengerjakan solat di bawah pokok itu. Besar kemungkinan lelaki itu adalah Nabi Ilyas. Aku berjalan mendekatinya kemudian memberi salam kepadanya sekalipun dia sedang mengerjakan solat. Saya lihat dia rukuk, kemudian iktidal, dan kemudian sujud.Selesai solat dia memandang ke arah suaraku datang kemudian menjawab salamku setelah melihat aku berdiri di situ.

Aku tanya dia: “Siapakah engkau wahai orang yang dirahmati Allah.” Dia menjawab : “Aku adalah Ilyas Al-Nabi.”

Aku begitu gugup mendengar kata-katanya itu.Dia datang mendekati aku. Dia letakkan tangannya di dadaku sehingga aku merasakan kesejukan tangannya.

Aku berkata kepadanya: “Wahai nabi Allah, doakanlah supaya Allah menghilangkan penyakitku ini.” Kemudian beliau pun berdoa dengan menggunakan nama Allah, lima di antaranya dalam bahasa Arab dan tiga lagi dalam bahasa Siryani. Beliau membaca: “Ya Wahid, Ya Ahad, Ya Somad, Ya Fardun, Ya Witrun. Beliau menyebut tiga potong perkataan lagi yang saya sendiri tidak tahu maknanya. Kemudian beliau menarik tanganku sambil mendudukkan aku.Ketika itu rasanya penyakitku sudah hilang.

Aku bertanya kepadanya: “Wahai nabi Allah, Bagaimana pendapatmu tentang orang ini (saya sebutkan Mirwan bin Muhammad), yang ketika itu menahan beberapa orang ulama. Beliau berkata: “Bagaimana hubungan kamu ?” Aku menjawab “Wahai nabi Allah kalau aku berjumpa dengannya dia berpaling. Dia tidak memberi sebarang komen.
Aku bertanya lagi: “Wahai nabi Allah,apakah sekarang ini masih ada di dunia ini Al-Abdal. (wali-wali Allah)?Beliau menjawab:”Ada” Mereka semua ada sebanyak 60 orang. 50 orang di kawasan Mesir sampai pantai Furat, 3 orang di Masisah, 1 orang di Antokiah dan yang lainnya di daerah Arab lainnya.”

Aku bertanya lagi:”Wahai nabi Allah, Apakah tuan ada berjumpa dengan nabi Khidir?” Beliau menjawab “Ya setiap musim haji kami berjumpa di Mina.” Aku bertanya: Apa yang kamu lakukan jika berjumpa?” Beliau menjawab: “Aku mengambil rambutnya dan dia pun mengambil rambutku.”

Aku berkata kepadanya: “Wahai nabi Allah. sebenarnya saya ini adalah orang yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai isteri dan anak. Kalau tuan bersetuju biarlah saya ikut bersama tuan ke mana sahaja tuan pergi.” Beliau menjawab: Engkau tidak sanggup berteman denganku.”

Ketika bercerita dengan beliau tiba-tiba aku melihat satu hidangan makanan keluar dari akar pohon itu kemudian diletakkan di hadapan beliau. Sementara orang yang mengangkatnya tidak kelihatan. Dalam hidangan itu ada tiga ketul roti. Beliau sudah menghulurkan tangannya untuk makan makanan itu. Tetapi tiba-tiba beliau belum jadi memakannya dan beliau mengajak aku supaya sama-sama makan.

Saya duduk di sebelah beliau, kemudian beliau berkata kepadaku: “Mulailah dengan Bismillah dan ambilah dari yang terdekat kepadamu “Kami pun memakannya bersama-sama. Selepas makan saya lihat jelas dulang itu diangkat lagi tetapi tidak kelihatan orang yang mengangkatnya. Kemudian didatangkan lagi kepada beliau minuman tetapi tidak kelihatan orang yang membawanya. Beliau membagi dua minuman itu, separuh beliau minum dan separuh lagi beliau serahkan kepadaku. Saya cuba minuman itu, oh rasanya cukup lazat. Minuman itu lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Selesai minum saya letakkan tempatnya. Tiba-tiba saya lihat terangkat lagi tetapi tidak tahu siapa mengangkatnya.

Kemudian beliau memandang ke bawah (tempat yang lebih rendah lagi), rupanya di situ sudah ada binatang menunggu yang lengkap dengan tempat duduknya. Binatang itu lebih besar dari keldai dan tidak sampai sebesar baghal. Beliau berjalan ke arah tunggangan itu. Aku kejar beliau dan aku minta supaya ikut bersamanya. Tetapi beliau berkata: “Bukankah sudah aku katakan bahawa engkau tidak sanggup mengikuti perjalananku?” Saya merasa kecewa dan hanya mampu berkata: “ Kalau begitu bagaimana caranya supaya saya berjumpa lagi dengan tuan?” Beliau menjawab: “ Kalau betul-betul ingin berjumpa denganku, kita akan berjumpa lagi nanti.” Tambah beliau lagi: “Semoga engkau dapat menjumpai aku lagi nanti pada bulan Ramadhan di Baitul Maqdis dalam keadaan iktikaf.” Beliau pergi ke bawah pohon dan aku ikuti dari belakang tetapi tiba-tiba beliau menghilang.”

--------------------------------------------------------------------------------------------

Nabi Idris as. Naik Ke Langit

Diriwayatkan Nabi Idris as. telah naik ke langit pada hari Isnin. Peristiwa naiknya Nabi Idris as. ke langit ini, telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Quran.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah, Idris yang tersebut di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.”
(Maryam: 56-57)
Nama Nabi Idris as. yang sebenarnya adalah ‘Akhnukh’. Sebab beliau dinamakan Idris, kerana beliau banyak membaca, mempelajari (tadarrus) kitab Allah SWT.

Setiap hari Nabi Idris menjahit qamis (baju kemeja), setiap kali beliau memasukkan jarum untuk menjahit pakaiannya, beliau mengucapkan tasbih. Jika pekerjaannya sudah selesai, kemudian pakaian itu diserahkannya kepada orang yang menempahnya dengan tanpa meminta upah. Walaupun demikian, Nabi Idris masih sanggup beribadah dengan amalan yang sukar untuk digambarkan. Sehingga Malaikat Maut sangat rindu berjumpa dengan beliau.

Kemudian Malaikat Maut bermohon kepada Allah SWT, agar diizinkan untuk pergi menemui Nabi Idris as. Setelah memberi salam, Malaikat pun duduk.

Nabi Idris as. mempunyai kebiasaan berpuasa sepanjang masa. Apabila waktu berbuka telah tiba, maka datanglah malaikat dari Syurga membawa makanan Nabi Idris, lalu beliau menikmati makanan tersebut.

Kemudian baginda beribadah sepanjang malam. Pada suatu malam Malaikat Maut datang menemuinya, sambil membawa makanan dari Syurga. Nabi Idris menikmati makanan itu. Kemudian Nabi Idris berkata kepada Malaikat Maut: “Wahai tuan, marilah kita nikmati makanan ini bersama-sama.” Tetapi Malaikat itu menolaknya.

Nabi Idris terus melanjutkan ibadahnya, sedangkan Malaikat Maut itu dengan setia menunggu sampai terbit matahari. Nabi Idris merasa hairan melihat sikap Malaikat itu.

Kemudian beliau berkata: “Wahai tuan, mahukah tuan bersiar-siar bersama saya untuk melihat keindahan alam persekitaran? Malaikat Maut menjawab: Baiklah Wahai Nabi Allah Idris.”

Maka berjalanlah keduanya melihat alam persekitaran dengan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan hidup di situ. Akhirnya ketika mereka sampai pada suatu kebun, maka Malaikat Maut berkata kepada Nabi Idris as.:
“Wahai Idris, adakah tuan izinkan saya untuk mengambil ini untuk saya makan? Nabi Idris pun menjawab: Subhanallah, mengapa malam tadi tuan tidak mahu memakan makanan yang halal, sedangkan sekarang tuan mahu memakan yang haram?”

Kemudian Malaikat Maut dan Nabi Idris meneruskan perjalanan mereka. Tidak terasa oleh mereka bahawa mereka telah bersiar-siar selama empat hari. Selama mereka bersahabat, Nabi Idris menemui beberapa keanehan pada diri temannya itu. Segala tindak-tanduknya berbeza dengan sifat-sifat manusia biasa. Akhirnya Nabi Idris tidak dapat menahan hasrat ingin tahunya itu.

Kemudian beliau bertanya: “Wahai tuan, bolehkah saya tahu, siapakah tuan yang sebenarnya? Saya adalah Malaikat Maut.”

“Tuankah yang bertugas mencabut semua nyawa makhluk?”

“Benar ya Idris.”

“Sedangkan tuan bersama saya selama empat hari, adakah tuan juga telah mencabut nyawa-nyawa makhluk?”

“Wahai Idris, selama empat hari ini banyak sekali nyawa yang telah saya cabut. Roh makhluk-makhluk itu bagaikan hidangan di hadapanku, aku ambil mereka bagaikan seseorang sedang menyuap-nyuap makanan.”

“Wahai Malaikat, apakah tujuan tuan datang, apakah untuk ziarah atau untuk mencabut nyawaku?”

“Saya datang untuk menziarahimu dan Allah SWT telah mengizinkan niatku itu.”

“Wahai Malaikat Maut, kabulkanlah satu permintaanku kepadamu, iaitu agar tuan mencabut nyawaku, kemudian tuan mohonkan kepada Allah agar Allah menghidupkan saya kembali, supaya aku dapat menyembah Allah Setelah aku merasakan dahsyatnya sakaratul maut itu.”

Malaikat Maut pun menjawab: “Sesungguhnya saya tidaklah mencabut nyawa seseorang pun, melainkan hanya dengan keizinan Allah.”

Lalu Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Maut, agar ia mencabut nyawa Idris as. Maka dicabutnyalah nyawa Idris saat itu juga. Maka Nabi Idris pun merasakan kematian ketika itu.

Di waktu Malaikat Maut melihat kematian Nabi Idris itu, maka menangislah ia. Dengan perasaan hiba dan sedih ia bermohon kepada Allah supaya Allah menghidupkan kembali sahabatnya itu. Allah mengabulkan permohonannya, dan Nabi Idris pun dihidupkan oleh Allah SWT kembali.

Kemudian Malaikat Maut memeluk Nabi Idris, dan ia bertanya: “Wahai saudaraku, bagaimanakah tuan merasakan kesakitan maut itu? Bila seekor binatang dilapah kulitnya ketika ia masih hidup, maka sakitnya maut itu seribu kali lebih sakit daripadanya. Padahal-kelembutan yang saya lakukan terhadap tuan, ketika saya mencabut nyawa tuan itu, belum pernah saya lakukan terhadap sesiapa pun sebelum tuan. Wahai Malaikat Maut, saya mempunyai permintaan lagi kepada tuan, iaitu saya sungguh-sungguh berhasrat melihat Neraka, supaya saya dapat beribadah kepada Allah SWT lebih banyak lagi, setelah saya menyaksikan dahsyatnya api neraka itu. Wahai Idris as. saya tidak dapat pergi ke Neraka jika tanpa izin dari Allah SWT.”

Akhirnya Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Maut agar ia membawa Nabi Idris ke dalam Neraka. Maka pergilah mereka berdua ke Neraka. Di Neraka itu, Nabi Idris as. dapat melihat semua yang diciptakan Allah SWT untuk menyiksa musuh-musuh-Nya. Seperti rantai-rantai yang panas, ular yang berbisa, kala, api yang membara, timah yang mendidih, pokok-pokok yang penuh berduri, air panas yang mendidih dan lain-lain.

Setelah merasa puas melihat keadaan Neraka itu, maka mereka pun pulang. Kemudian Nabi Idris as. berkata kepada Malaikat Maut: “Wahai Malaikat Maut, saya mempunyai hajat yang lain, iaitu agar tuan dapat menolong saya membawa masuk ke dalam Syurga. Sehingga saya dapat melihat apa-apa yang telah disediakan oleh Allah bagi kekasih-kekasih-Nya. Setelah itu saya pun dapat meningkatkan lagi ibadah saya kepada Allah SWT. Saya tidak dapat membawa tuan masuk ke dalam Syurga, tanpa perintah dari Allah SWT.” Jawab Malaikat Maut.

Lalu Allah SWT pun memerintahkan kepada Malaikat Maut supaya ia membawa Nabi Idris masuk ke dalam Syurga.

Kemudian pergilah mereka berdua, sehingga mereka sampai di pintu Syurga dan mereka berhenti di pintu tersebut.
Dari situ Nabi Idris dapat melihat pemandangan di dalam Syurga. Nabi Idris dapat melihat segala macam kenikmatan yang disediakan oleh Allah SWT untuk para wali-waliNya. Berupa buah-buahan, pokok-pokok yang indah dan sungai-sungai yang mengalir dan lain-lain.

Kemudian Nabi Idris berkata: “Wahai saudaraku Malaikat Maut, saya telah merasakan pahitnya maut dan saya telah melihat dahsyatnya api Neraka. Maka mahukah tuan memohonkan kepada Allah untukku, agar Allah mengizinkan aku memasuki Syurga untuk dapat meminum airnya, untuk menghilangkan kesakitan mati dan dahsyatnya api Neraka?”

Maka Malaikat Maut pun bermohon kepada Allah. Kemudian Allah memberi izin kepadanya untuk memasuki Syurga dan kemudian harus keluar lagi. Nabi Idris pun masuk ke dalam Syurga, beliau meletakkan kasutnya di bawah salah satu pohon Syurga, lalu ia keluar kembali dari Syurga. Setelah beliau berada di luar, Nabi Idris berkata kepada Malaikat Maut:
“Wahai Malaikat Maut, aku telah meninggalkan kasutku di dalam Syurga.

Malaikat Maut pun berkata: Masuklah ke dalam Syurga, dan ambil kasut tuan.”

Maka masuklah Nabi Idris, namun beliau tidak keluar lagi, sehingga Malaikat Maut memanggilnya: “Ya Idris, keluarlah!. Tidak, wahai Malaikat Maut, kerana Allah SWT telah berfirman bermaksud: “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.”
(Ali-Imran: 185)
Sedangkan saya telah merasakan kematian. Dan Allah berfirman yang bermaksud: “Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi Neraka itu.”
(Maryam: 71)
Dan saya pun telah mendatangi Neraka itu. Dan firman Allah lagi yang bermaksud: “... Dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya (Syurga).”
(Al-Hijr: 48)
Maka Allah menurunkan wahyu kepada Malaikat Maut itu: “Biarkanlah dia, kerana Aku telah menetapkan di azali, bahawa ia akan bertempat tinggal di Syurga.”

Allah menceritakan tentang kisah Nabi Idris ini kepada Rasulullah SAW dengan firman-Nya bermaksud: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris yang tersebut di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.”
(Maryam: 56-57)

------------------------------------------------------------------------------------------

Nabi Musa as. pergi ke Gunung Thursina

Nabi Musa as. pergi ke Gunung Thursina pada hari Isnin. Sesuai dengan firman Allah yang dijelaskan dalam Al-Quran: “Dan Tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya, nescaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pengsan. Maka Setelah Musa sedar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
(Al-A’raaf: 143)
Nabi Musa as. telah melakukan tujuh kali perjalanan, semuanya terjadi pada hari Isnin.
1. Safarul Ghazab.
2. Safarul Harab.
3. Safarul Thalab.
4. Safarul Sabab.
5. Safarul ‘Ujub.
6. Safarul Adab.
7. Safarul Tharbi.

1. Safarul Ghazab
Perjalanan Ghazab atau perjalanan kerana murka, adalah perjalanan Musa as. ketika beliau dihanyutkan oleh ibunya ke dalam sungai, kerana takut kemurkaan Fir’un.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susukanlah dia, dan apabila kamu khuatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu bimbang dan jangan pula bersedih hati, kerana sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang daripada Rasul.”
(Al-Qashash: 7)
2. Safarul Harab
Safarul Harab adalah perjalanan Nabi Musa ketika melarikan diri dari Mesir ke Madyan.

Firman Allah SWT bermaksud: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan kebimbangan, dia berdoa: Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu. Dan Tatkala ia menghadap kejurusan negeri Madyan ia berdoa lagi: Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar.”
(Al-Qashash: 21-22)
3. Safarul Thalab
Safarul Thalab adalah perjalanan menuntut sesuatu. Merupakan perjalanan Nabi Musa ketika pulang dari negeri Madyan dan beliau memerlukan api. Kemudia beliau melihat cahaya api, maka dihampirinya.

Firman Allah SWT berbunyi: “Maka Tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnya api di kaki gunung, ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari tempat api itu atau membawa sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan.”
(Al-Qashash: 29)
4. Safarus Sabab
Safarus Sabab adalah perjalanan yang disebabkan sesuatu. Iaitu perjalanan Musa as. keluar dari Mesir menuju Sungai Nil dikejar oleh Fir’un berserta tenteranya. Perjalanan itu jugalah yang menjadi sebab kebinasaan Fira’un.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bersertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain.”
(Asy-Syu’ara: 65-66)
5. Safarul ‘Ujub
Safarul Ujub iaitu perjalanan ujub, yang merupakan perjalanan Musa as. bersama kaumnya ketika tersesat di hutan belantara selama 40 tahun. Mereka diberi Allah makanan berupa ‘manna’ dan ‘salwa’ dan dikeluarkan oleh Allah air dari batu-batu untuk minuman mereka.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu ‘manna’ dan ‘salwa.’ makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu.”
(Al-Baqarah: 57)
Firman Allah SWT lagi yang bermaksud: “Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. Makan dan minumlah rezeki yang diberikan oleh Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerosakan.”
(Al-Baqarah: 60)
Diceritakan bahawa kaum Nabi Musa as. yang ikut bersamanya di hutan belantara itu berjumlah tujuh puluh ribu orang. Mereka semua terdiri daripada 12 kaum.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku atau kaum yang masing-masing suku mempunyai jumlah yang ramai dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!”. Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka ‘manna dan salwa’. Kami berfirman: “Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu.” Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri.”
(Al-A’raaf: 160)
6. Safarul Adab
Safarul Adab adalah perjalanan pendidikan, iaitu perjalanan Nabi Musa ke tepi sungai untuk berjumpa dengan Khidir as.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. Maka Tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan itu, sesungguhnya kita telah merasa letih kerana perjalanan kita ini. Muridnya menjawab: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. Musa berkata: “Itulah tempat yang kita cari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khaidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.”
(Al-Kahfi: 60-66)
7. Safarut Tharbi
Safarut Tharbi adalah perjalanan suka cita, iaitu perjalanan Nabi Musa ke Bukit Thursina untuk bermunajat kepada Allah SWT.

Firman Allah SWT bermaksud: “Dan Tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami pada waktu yang telah Kami tentukan...”
(Al-A’raaf: 143)
Keagungan perjalanan Nabi Muhammad SAW
Nabi Musa as. datang sendiri kepada Allah untuk munajat kepada-Nya. Namun Nabi Muhammad SAW munajatnya kepada Allah dijemput oleh Malaikat Jibril. Firman Allah SWT yang bermaksud: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebahagian daripada tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Al-Isra’: 1)
Ketika Nabi Musa as. munajat kepada Allah, ia diperintahkan agar menanggalkan alas kakinya. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah dalam surah Thaha ayat 12 bermaksud: “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua kasutmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” Sedangkan kepada Nabi Muhammad SAW Allah berfirman: “Janganlah kamu tanggalkan kedua alas kakimu.”

Peristiwa ini sebagaimana diriwayatkan, bahawasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Pada malam aku dimikrajkan, aku ingin membuka kedua alas kakiku, namun tiba-tiba terdengar suara: “Janganlah engkau tanggalkan kedua alas kakimu, hai Muhammad, agar Arsy dan kursi mendapatkan kehormatan berada di bawah alas kakimu itu. Aku berkata: Wahai Tuhanku, Engkau telah berkata kepada saudaraku Musa, Tanggalkanlah kedua alas kakimu, kerana engkau berada tempat yang suci, Thuwa? Allah SWT menjawab: Dekatlah kepada-Ku Wahai Abalqosim, dekatlah kepada-Ku Wahai Ahmad!, engkau tidak sama dengan Musa. Musa adalah kalam-Ku, sedangkan engkau adalah kekasih-Ku. Kalam tidaklah sama dengan kekasih.”

----------------------------------------------------------------------------------------------

Cinta Sejati Seorang Ibu Terhadap Anak-Anaknya

Dia seorang wanita yang sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita masih muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong dan bualan orang sekitarnya. Maklumlah ia memang seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair. Al-Khansa binti Amru demikianlah nama wanita itu. Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Dia pernah bersyair mengenang kematian saudaranya yang bernama Sakhr: “Setiap mega terbit, dia mengingatkan aku pada si Sakhr, malang.
Aku pula masih teringatkan dia setiap mega hilang di ufuk barat.
Kalaulah tidak kerana terlalu ramai orang menangis di sampingku ke atas mayat-mayat mereka, nescaya aku bunuh diriku.” Setelah Khansa masuk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakannya untuk menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya telah diajar ilmu bersyair dan dididik berjuang dengan berani. Kemudian kesemua puteranya itu telah diserahkannya untuk berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam.

Khansa telah mengajar anaknya sejak kecil lagi agar jangan takut menghadapi peperangan dan cabaran.
Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang Farsi. Semua umat Islam dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka terkumpullah seramai 41,000 orang tentera. Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu. Khansa sendiri juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas merawat dan menaikkan semangat pejuang tentera Islam.

Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan mara ke medan perang:
“Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan suka rela pula. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudara maramu, aku tidak pernah merendahkan keturunan kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu. Kamu telah tahu tentang pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu. Ketahuilah bahawasanya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa.”

Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imaran yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, moga-moga kamu menjadi orang yang beruntung.” Putera-putera Khansa tertunduk khusyuk mendengar nasihat bonda yang disayanginya.

Seterusnya Khansa berkata: “Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah, dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk berperang dengan musuh-musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan yang sedang bergejolak masuklah kamu ke dalamnya. Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapatkan balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal.”

Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah iaitu solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap sedia sebaik saja semboyan perang berbunyi. Perang satu lawan satupun bermula sampai dua hari. Pada hari ketiga bermulalah pertempuran besar-besaran. 41,000 orang tentera Islam melawan tentera Farsi yang berjumlah 200,000 orang. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah.

Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bondanya, mereka tidak sedikitpun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang di antara mereka bersyair: “Hai saudara-saudaraku!
Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat.
Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah.
Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi.” Kemudian ia maju menetak setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair: “Demi Allah!
Kami tidak akan melanggar nasihat ibu tua kami
Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati
Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur musuh bersama-sama
Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah.
Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya sambil bersyair:
“Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas dan tidak goncang.
Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cekap dan berakal cemerlang
Itulah nasihat seorang ibu tua yang mengambil berat terhadap anak-anaknya sendiri
Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri
Dapatkan kemenangan yang bakal membawa kegembiraan di dalam hati.
Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi.” Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair: “Bukanlah aku putera Khansa’, bukanlah aku anak jantan
Dan bukan pula kerana Amru yang pujiannya sudah lama terkenal,
Kalau aku tidak membuat tentera asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke jurang bahaya, dan musnah mangsa oleh senjataku.” Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat ibondanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya kebingungan dan kacau bilau kerana pihak Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan hadapan, sementara tentera pejalan kaki berlindung di belakang binatang tahan lasak itu. Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak tentera Farsi lainnya. Mereka jadi mangsa gajah sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka.

Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya merekapun lari lintang pukang menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah teruk, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil sahaja yang dapat menyelamatkan diri.Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan daripada 7,000 orang syhuhada itu terbujur empat orang adik beradik anak Khansa.

Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahawa keempat empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan: “Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka, dan aku mengharapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengar mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!” Al-Khansa kembali semula ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan mayat putera-puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperangan itu pula wanita penyair ini mendapat gelaran kehormatan ‘Ummu syuhada yang ertinya ibu kepada orang-orang yang mati syahid.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Syahid Dalam Menjalankan Tugas Rasulullah SAW

Dalam kebanyakan surat-surat yang dikirimkan oleh Rasulullah SAW kepada beberapa orang raja adalah bertujuan supaya mereka memeluk agama Islam, salah seorang di antaranya ialah raja Busra, surat kepada raja ini di hantar oleh Haris bin Umar Azdi ra. Sewaktu membawa surat ketika Haris bin Umar ra. sampai di Mauta beliau telah dibunuh oleh Sharabbil Ghassani, yakni salah seorang gabenor Kaisar.

Pembunuhan ini adalah bertentangan dengan semua undang-undang kesusilaan di antara suku-suku, sebab Haris bin Umar ra. adalah utusan untuk menyampaikan surat. Rasulullah SAW sangat dukacita atas kematian Haris, lalu baginda mengumpulkan seramai 3000 pejuang yang gagah berani untuk menentang musuh yang jahat itu. Rasulullah SAW, melantik Zaid bin Harthah sebagai ketua pasukan.

Kemudian Baginda SAW, bersabda kepada para pejuang yang akan ke medan pertempuran: “Sekiranya Zaid terbunuh maka Jaafar bin Abi Talib hendaklah mengetuai pasukan dan jika Jaafar juga terbunuh maka Abdullah bin Rawahah hendaklah mengetuai pasukan. Dan sekiranva Abdullah juga terbunuh maka bolehlah kamu semua memilih seorang ketua di kalangan kamu orang yang kamu kehendaki.” Seorang Yahudi yang kebetulan berada di situ berkata: “Pasti ketiga-tiga mereka ini akan terkorban kerana ini adalah lumrah sebagaimana para-para Nabi yang terdahulunya selalu meramalkan.”

Sebelum tentera Islam berangkat menuju ke medan pertempuran, Rasulullah SAW memberikan sehelai bendera putih yang diperbuat sendiri oleh baginda SAW kepada Zaid. Rasulullah SAW menemani tentera-tentera Islam beberapa langkah di luar Kota Madinah dan baginda berdoa: “Semoga Allah SWT akan mengembalikan kamu semua dengan selamat dan memperolehi kejayaan. Semoga Allah memelihara kamu semua dari segala kejahatan.”

Setelah Rasulullah SAW selesai berdoa, Abdullah bin Rawahah menyampaikan tiga rangkap syair yang bermaksud: “Aku hanya mengiginkan keampunan terhadap segala dosa-dosaku dan
sebilah pedang untuk menyebabkan darah-darah merahku memancar
keluar seperti air yang mengalir keluar dari mata air.
Atau sebilah tombak untuk menembusi masuk keliang hatiku dan isi perutku.
Dan ketika insan-insan melalui di tepi kuburku, mereka akan berkata:
Semoga engkau telah gugur kerana Allah.... berjaya dan makmur.
Engkau sesungguhnya insan yang berjaya dan makmur.” Di pihak musuh pula ketuanya yang bernama Sarjil, telah mengetahui mengenai persediaan tentera Islam, Sarjil mengumpulkan 100,000 tentera yang lengkap dengan alat kelengkapan perang untuk menghadapi serangan tentera Islam. Ketika, Sarjil dan bala tenteranya hendak mara, ia mendapat berita bahawa Kaisar sendiri sedang mara dengan satu batalion tentera yang terdiri dari 100,000 orang untuk menolong Sarjil. Apabila berita ini sampai kepada para sahabat yang sedang dalam perjalanan untuk berperang dengan pihak musuh, mereka merasa ragu-ragu dan mereka berfikir samada mara atau pun tidak untuk menentang musuh Islam yang berjumlah 200,000 orang itu. Atau mereka mengirim utusan kepada Rasulullah SAW untuk mendapatkan nasihat.

Dalam ragu-ragu itu Abdullah bin Rawahah dengan penuh semangat pejuang berkata dengan suara yang lantang: “Wahai para sahabatku, apakah yang membimbangkan kamu semua. Apakah tujuan sebenar kamu semua datang kesini? Bukankah kamu semua datang kesini untuk mati syahid. Kita sebagai pejuang-pejuang Islam tidak pernah memperjuangkan tenaga kita dengan kekuatan senjata dan kekuatan bilangan tentera. Perjuangan kita adalah semata-mata kerana Islam yang telah dimuliakan oleh Allah SWT ke atas setiap kita pejuang-pejuang agamaNya. Kita hendaklah mempastikan salah satu antara dua: Kemenangan atau syahid.” Apabila para sahabat yang lain mendengar kata-kata semangat dari Abdullah bin Rawahah, maka para sahabat pun bertekad untuk bertemu dengan tentera-tentera Kristian di medan peperangan Mauta. Apabila sampai di medan pertempuran, Zaid ra. menggenggam bendera di tangan dan mengarahkan tugas bagi menghadapi pertempuran, maka berlakulah pertempuran yang sengit di antara tentera Islam dengan tentera Kristian.

Dalam pertempuran yang sedang rancak berjalan itu, saudara lelaki Sarjil mati dan Sarjil sendiri melarikan diri dan bersembunyi di dalam sebuah kubu. Sarjil telah mengirim berita kepada Kaisar tentang masalahnya dan meminta bantuan tentera, maka Kaisar pun menghantar tenteranya yang gagah berani seramai 200,000 untuk membantu Sarjil. Tentera Islam tetap bertarung dengan semangat jihad walaupun angka tentera musuh jauh berbeza dari tentara Islam yang cuma 3000 orang sahaja.

Dalam pertempuran yang sengit itu maka syahidlah Zaid ketua panglima tentera Islam. Jaafar ra. mengambil alih sebagai ketua dan menggenggam bendera, beliau dengan sengaja melumpuhkan kaki kudanya agar beliau tidak dapat meninggalkan medan pertempuran jika datang perasaannya untuk meninggalkan medan pertempuran. Dalam peperangan yang sedang rancak berjalan itu Jaafar membaca beberapa ungkapan syair: “Wahai manusia! Betapakah indahnya syurga.
Dan betapa gembiranya tentang kehampirannya!
Kecelakaan orang-orang Rom berada di dalam genggaman tangan, aku mesti hapuskan mereka semua.” Dengan memegang bendera Islam yang berkibaran di sebelah tangan dan sebelah tangan lagi memegang pedang beliau terus meluru ke arah musuh. Sewaktu meluru tangan kanan beliau yang memegang bendera telah ditetak, beliau dengan segera memegang bendera dengan tangan kiri, tetapi tangan kiri beliau juga ditetak, beliau tetap memegang kuat dengan menggigit bendera dengan bantuan kedua belah bahunya yang telah kudung. Darah mengalir seperti air paip. Datanglah musuh dari arah belakang lalu menetak Jaafar ra. sehingga terbelah dua, dan syahidlah Jaafar ra. Umur Jaafar ra. ketika itu ialah 33 tahun.

Abdullah bin Umar ra. menceritakan, “Ketika kami mengangkat beliau keluar dari medan pertempuran. Kami dapat mengira bahawa terdapat 90 liang luka di badan beliau.”

Sewaktu Jaafar ra. terbunuh Abdullah bin Rawahah sedang makan daging di penjuru medan peperangan. Beliau sudah tiga hari kelaparan. Sebaik sahaja beliau mendengar berita tentang kematian Jaafar. Dengan segera beliau mencampakkan daging dengan berkata “Abdullah kamu ini asyik sibuk dengan makan, sedangkan Jaafar telah sampai ke syurga.”

Tanpa membuang masa Abdullah bin Rawahah terus mencapai bendera dan meluru ke arah musuh. Dalam pertempuran anak-anak jarinya banyak yang parah dan banyak yang tergantung dengan isi. Beliau meletakkan anak-anak jarinya ke bawah lalu dipijak dengan kaki dan ditarik sehingga jari-jarinya bercerai dari tangannya. Kemudian beliau terus mara dan beliau berhenti sebentar dan memikirkan tentera Islam yang sedikit berbandingkan tentera musuh yang ramai. Dalam tengah berangan-angan itu dia tersentak dan berkata ia dalam hatinya: “Wahai hati, apa yang menyebabkan kamu memikirkan demikian?” Adakah kerana cinta kepada isteriku? Kalau begitu aku ceraikan kamu pada saat ini juga. Adakah kerana hamba-hamba? Kalau begitu aku bebaskan mereka semua. Adakah kerana kebun? Kalau begitu aku berikan sebagai sedekah.”

Oleh kerana keletihan dan kelaparan, beliau turun dari kudanya, sementara sepupunya datang membawa sekeping daging kepadanya dengan berkata: “Kamu tidak dapat tidur dan makan kerana kelaparanmu selama tiga hari.”
Apabila Abdullah hendak mengambil daging tersebut, beliau mendengar laungan musuh di salah satu sudut medan pertempuran, beliau melemparkan daging tersebut. Dengan pedang yang terhunus beliau meluru ke arah musuh dan berjuang sehingga beliau syahid di medan pertempuran itu.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Segelas Air Di Medan Perang

Di zaman permulaan bangkitnya Agama Islam, banyak peperangan telah berlaku antara pihak tentera Islam dengan pihak musyrikin. Banyak suku-suku Arab yang musyrik telah bangkit menentang Kerajaan Islam yang berpusat di kota Madinah. Salah satu peperangan besar yang dihadapi oleh umat Islam ketika itu ialah Perang Yarmuk.

Dalam masa peperangan ini suatu peristiwa yang sungguh mengharukan telah terjadi yang kiranya elok dijadikan satu teladan yang indah buat umat dikemudian hari. Satu contoh teladan yang tidak ada tolok bandingnya bagi menunjukkan keluhuran budi pejuang-pejuang Islam di medan pertempuran.

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Abu Jahim Bin Huzaifah yang menyertai Perang Yarmuk itu meriwayatkan satu peristiwa tentang pengorbanan pejuang-pejuang Islam yang berhati mulia.

Abu Jahim bercerita.
“Semasa Perang Yarmuk itu saya sedang mencari saudara sepupu saya yang berada di barisan hadapan sekali. Saya bawa bersama-sama sedikit air agar dapat memberi faedah buat dirinya. Tatkala saya menjumpainya dia sedang terbaring berlumuran darah. Dia mengerang kesakitan dan harapan untuknya hidup sangat tipis sekali. Melihat keadaannya itu saya lantas berkejar kepadanya untuk memberikan air. Tetapi ketika hampir saya memberikannya air itu saya terdengar seorang lagi pejuang Islam sedang berteriak: “Berikanlah saya air! air!” Mendengar suaranya itu saudara sepupu saya lantas memberi isyarat agar saya pergi melayani orang itu lebih dahulu dan memberikannya air itu. Maka saya pun tanpa lengah lagi terus pergi mendapatkan orang itu. Pejuang itu amat saya kenali, tidak lain adalah Hasyim Bin Abilas.

Tetapi sebelum sempat saya memberikan air kepada Hasyim saya terdengar suara orang mengerang di sebelahnya pula, juga meminta air. Hasyim pula kali ini mengisyaratkan saya supaya memberikan air itu lebih dahulu kepada orang yang mengerang dekatnya. Bagaimanapun sebelum sempat saya kepada pejuang yang ketiga itu ia pun telah mati syahid. Lalu saya pun bergegas semula kepada Hasyim tetapi sedihnya ia juga telah mati syahid. Tanpa lengah lagi saya terus pergi mendapatkan saudara sepupu saya itu. Sungguh tidak tahan rasa di hati saya kerana saya dapati dia juga telah mati syahid.

Demikianlah satu contoh keluhuran budi yang tidak ada bandingnya yang diperlihatkan oleh pejuang-pejuang Islam yang beriman.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Keanehan-keanehan Tukang Azan

Syeikh Syihabuddin Muhammad bin Ahmad di dalam kitabnya “Al-Mustatraf” menceritakan tentang peristiwa-peristiwa tukang azan, di antaranya:

( i )
Seorang muazzin telah ditegur kerana azannya terlalu perlahan: “Kami tidak mendengar suara azanmu, kuatkanlah sedikit.”

“Aku dapat mendengarkan suaraku dari jarak satu batu.” jawab si Muazzin.*

( ii )
Seseorang berkata bahawa dia melihat muazzin melaungkan azan, kemudian keluar dari masjid dan lari seperti mengejar sesuatu.

“Hendak kemana engkau?” tanya orang.

“Aku ingin mendengarkan azanku sampai kemana gemanya.” *

( iii )
Diceritakan pula bahawa ada dua orang lelaki telah bersengketa pasal seorang jariah. Kerana tidak ada yang mahu mengalah, kedua-duanya sepakat menumpangkan jariah itu kepada seorang muazzin. Pada sebelah pagi setelah berazan, tiba-tiba muazzin itu berkata: “La ilaha illallah....telah hilang rasa kepercayaan dari manusia.”

“Bagaimana rasa kepercayaan boleh hilang dari manusia?” tanya mereka.

“Ini buktinya.” kata tukang azan itu sambil menunjuk kepada jariah yang ditumpangkan kepadanya. “Jariah ini ditinggalkan kepadaku. Kata yang menumpangkannya dia masih perawan. Tapi setelah aku menggaulinya, ternyata dia sudah janda.”*

( iv )
Dikota Humas ada seorang tukang azan yang memekik-memekik pada pagi Ramadhan: “Bersahurlah kalian! Aku sudah menyuruhmu. Cepatlah makan, sebelum saya berazan. Allah akan menghitamkan mukamu.” *

Seorang berazan sambil melihat lafaz-lafaz azan yang ditulis pada sehelai kertas.
“Engkau tidak hafal azan?” tanya mereka.

“Jangan tanya kepada saya, tapi pergilah kepada Kadi.” jawab Muazzin itu.

Mereka pun pergi ke rumah Kadi dan mengucapkan: “Assalamualaikum, wahai tuan Kadi.”

Kadi tidak segera menjawab, tapi masih mengeluarkan sehelai kertas lalu dibacanya: “Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”

Maka orang-orang surau itu pun datang kepada si Muazzin dan meminta maaf setelah mengetahui bahawa kadinya juga tidak hafal Assalamualaikum...” *

( v )
Seorang perempuan mendengar muazzin melaungkan azan Subuh setelah terbit matahari. Ketika sampai pada “Asshalatu khairum minannaum (Solat itu lebih baik daripada tidur), perempuan itu menjawab: “Tidur lebih baik daripada solat seperti sekarang ini.”

---------------------------------------------------------------------------------------------

Keanehan-keanehan Peminta Sedekah

Syekh Syihabuddin Muhammad bin Ahmad menceritakan pula tentang kisah-kisah para peminta sedekah yang sampai kepada beliau.

( i )
Di antaranya kisah seorang peminta sedekah yang datang ke sebuah rumah, lalu berseru: “Wahai tuan yang empunya rumah...” Belum sempat dia meneruskan perkataannya, tuan rumah telah bangun meninggalkannya sambil berkata: “Semoga Allah melapangkan engkau.”

“Wahai tuan rumah! Alangkah baiknya kalau engkau mendengarkan apa yang akan kukatakan terlebih dahulu. Barangkali aku datang untuk menjemputmu ke majlis kenduri kahwin.” kata si peminta sedekah. *

( ii )
Diceritakan pula bahawa seorang peminta sedekah berdiri di hadapan pintu sebuah rumah kerana mengharapkan sesuatu.
“Semoga Allah melapangkan engkau. Kami tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada engkau.” kata tuan rumah.

“Sisa-sisa makanan pun jadi.” kata si pengemis.

“Kami tidak punya.” kata tuan rumah.

“Sedikit gandum atau syair pun jadilah tuan.”

“Kami tidak punya.”

“Secawan susu atau zait?” kata si pengemis.

“Kami tidak punya.”

“Kalau begitu, berilah saya sedikit air suam saja.”

“Kami tidak punya apa-apa.”

“Kalau begitu, apa yang engkau buat di dalam rumah ini? Pergilah keluar mengemis. Kalian lebih patut menjadi peminta sedekah daripada saya.” kata si pengemis lalu pergi. *

( iii )
Syekh Syihabuddin menceritakan pula bahawa seorang pengemis telah berseru di hadapan sebuah rumah: “Tuan, kami lapar, berilah sesuap makanan.”

“Engkau berbohong.” kata tuan rumah.

“Betul tuan. Kalau tidak percaya, tuan boleh cuba aku dengan dua kati roti dan dua kati daging. Nescaya ia akan habis sebagai tanda bahawa kami betul-betul lapar.” kata si pengemis.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Minta 70 Dulang Otak Manusia

Semasa masih dalam Yahudi, Abdullah bin Saba’ telah mengatakan bahawa Yusa’ bin Nun telah mendapat wasiat dari Nabi Musa Alaihissalam tentang kepimpinan selepasnya. Apabila masuk Islam, dia mempromosikan ideanya pula yang mengatakan bahawa Ali bin Abi Thalib telah mendapat wasiat dari Nabi Muhammad SAW agar memegang kepimpinan sesudah kemangkatan baginda.

Abdullah bin Saba’lah yang mula-mula mengatakan bahawa imamah itu adalah hak Ali bin Abi Thalib, dan dia telah mencerca sahabat-sahabat yang lain. Dia berkata bahawa Ali bin Abi Thaliblah yang menyuruhnya agar mengeluarkan perkataan tersebut. Apabila Ali mendengar perkara tersebut, beliau telah memerintahkan agar Abdullah bin Saba’ ditangkap dan dibunuh. Akan tetapi ketika hukuman akan dijalankan, beberapa orang pendukungnya telah menghalangnya dengan suatu alasan. Kemudian Ali membuang bekas tokoh Yahudi itu ke Madain. Walau bagaimanapun, Abdullah bin Saba’ masih tetap mempertahankan ideanya kerana memang bertujuan ingin menggoncang aqidah umat Islam dari dalam.

Ketika berita kewafatan Khalifah Ali telah tersebar, Abdullah bin Saba’ menyumpah-nyumpah membantah dan tidak mempercayainya. Dia telah berkata kepada orang yang membawa berita itu: “Engkau telah berbohong! Walaupun engkau bawa ke sini otak Ali dalam tujuh puluh dulang dan engkau bawa tujuh puluh orang saksi yang adil mengakui bahawa Ali telah terbunuh, aku tetap tidak mempercayainya. Aku tahu bahawa Ali tidak akan mati dan tidak akan terbunuh. Sesungguhnya beliau tidak akan mati sehinggalah beliau menguasai seluruh muka bumi ini.”
Apa yang jelas, Sayyidana Ali bin Abi Thalib memang wafat terbunuh, kerana beliau adalah manusia biasa juga.

------------------------------------------------------------------------------------------

Rahsia Alif, Lam, Mim Dalam Surat Khalifah


Diceritakan bahawa Sultan Mahmud telah mencabar Khalifah Al-Qadir Billah di Baghdad, mungkin kerana timbul suatu perselisihan faham. Sultan Mahmud menghantar utusan kepada Khalifah Al-Qahir dengan membawa surat ugutan bahawa beliau sanggup menghantar pasukan bergajah untuk melanggar dan memporak perandakan Baghdad. Diterangkannya pula bahawa gajah-gajahnya boleh mengangkat bumi Baghdad dan dibawa ke Ghazanah.

Khalifah Al-Qadir tidak tinggal diam, beliau terus mengirim surat cabaran. Anehnya surat Khalifah hanya mengandungi tiga huruf saja iaitu: ( Alif, Lam, Mim ) Sultan bingung ketika menerima surat tersebut kerana tidak faham apa maksudnya. Beliau memanggil pakar-pakar bahasa, tapi mereka juga tidak mengetahui maksudnya. Ahli-ahli Tafsir dan Al-Quran juga dipanggil dan mereka berusaha mempadan-padankan surat Khalifah itu dengan surah-surah di dalam Al-Quran yang diawali dengan huruf Alif Lam Mim, tapi tidak sesuai. Ia tidak dapat dihubung kaitkan dengan kandungan surat Khalifah yang dihantar kepada Sultan.

Dalam keadaan Sultan bingung mencari orang yang lebih pakar lagi, tampil seorang pemuda yang selama ini tidak diambil kira oleh mereka.

“Kalau Sultan mengizinkan, saya cuba untuk mempelajari rahsia surat itu.” kata si pemuda.

Para pegawai istana melaporkan tawaran si pemuda kepada Sultan, dan baginda mengizinkannya.

“Panggil dia ke sini.” kata Sultan.

Si pemuda masuk dan surat itu pun dihulurkan kepadanya. Setelah berfikir beberapa minit, si pemuda bertanya: “Apakah Sultan pernah menghantar surat kepada Khalifah yang berisi ugutan untuk menyerang dengan menggunakan tentera bergajah?”

“Betul, betul. Tapi apa hubungannya?” tanya Sultan.

“Kalau begitu, Khalifah telah menghantar surat kepadamu yang ertinya: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentera bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?”
(Al-Fil: 1-2)
“Oh... betul tuanku. Khalifah telah menyahut cabaran tuanku.” kata para pakar bahasa dan Tafsir hampir serentak. Sultan merasa gembira dan berterima kasih kepada si pemuda dan diberinya hadiah yang banyak. Mereka juga merasa gelihati sendiri kerana telah berpusing-pusing membongkar Tafsir dan mengkaji surah-surah yang dimulakan dengan Alif lam mim, tapi ternyata ia hanyalah hujung surat Al-Fil.*

Aristotles berkata: “Orang yang berakal dapat menangkap fikiran orang yang berakal. Sedang orang yang bodoh tidak dapat menerima fikiran orang yang berakal, bahkan tidak dapat menerima orang bodoh.”

------------------------------------------------------------------------------------------

Sepotong Roti, Pengemis dan Serigala

Diriwayatkan bahawa pernah suatu musim kemarau menimpa Bani Israil dalam beberapa tahun yang berterusan. Ada seorang perempuan memiliki sepotong roti. Diletakkannya roti itu pada mulutnya untuk dimakannya. Tiba-tiba datang seorang pengemis di depan pintu dan berkata, “Berilah aku kerana Allah, sepotong roti sahaja.”
Perempuan itu mengeluarkan roti itu dari mulutnya dan diserahkannya kepada pengemis itu. Kemudian ia keluar ke padang belantara untuk mencari kayu.

Dia mempunyai seorang anak kecil yang turut dibawanya bersama. Tiba-tiba datang seekor serigala dan menangkap anak kecil itu serta membawanya lari. Terdengar suara jeritan. Bersegeralah perempuan itu mencari jejak serigala. Lalu Allah SWT mengutus Malaikat Jibril a.s dan mengeluarkan anak itu dari mulut serigala. Diserahkannya anak itu pada ibunya seraya berkata padanya, “Hai perempuan hamba Allah, puaskah engkau sesuap roti diganti dengan keselamatan anak?”

Perempuan itu menjawab, “Ya.”

Terdengar suara mengatakan, “Demikianlah balasan kepada orang-orang yang mengasihani orang-orang miskin dan kelaparan. Kami selamatkan dan kami pelihara sebagai balasan bagi orang yang berbuat baik.”

-----------------------------------------------------------------------------------------

Seekor Helang, Nabi Sulaiman dan Pemilik Pemohon


Ada seekor helang datang menghadap kepada Nabi Sulaiman a.s bin Dawud a.s. Berkatalah helang itu, “Wahai Nabi Allah, ada seorang lelaki yang memiliki sebatang pohon dan aku mengerami telurku di atas pohon itu. Tetapi dia mengangkat anak-anakku, lalu dibawanya pulang.”

Nabi Sulaiman a.s memanggil lelaki pemilik pohon dan melarang perbuatan itu. Berkatalah Nabi Sulaiman a.s kepada dua syaitan: “Aku memerintahkan engkau berdua, jika datang tahun depan dan lelaki itu mengambil anak dari burung ini, maka tangkaplah dia dan belahlah dia menjadi dua bahagian. Lalu lemparkan sebahagian di dunia timur dan sebahagian lagi di sebelah barat.”

Ketika datang tahun itu, pemilik pohon lupa pesan Nabi Sulaiman a.s dan dia hendak memanjat pohon. Tetapi sebelum memanjat, dia sempat bersedekah dengan sesuap makanan. Lalu diangkatnya anak burung itu dan di bawanya pulang. Burung helang datang menghadap kepada Nabi Sulaiman a.s dan melaporkan perbuatan pemilik pohon. Nabi Sulaiman a.s memanggil dua syaitan dan bermaksud menghukum kedua-duanya. Nabi Sulaiman a.s berkata: “Mengapa kamu berdua tidak melaksanakan tugas yang aku perintahkan?”

Mereka menjawab: “Wahai Khalifah Allah, sesungguhnya pemilik pohon ketika hendak memanjat pohon itu kami bermaksud menangkapnya. Tetapi kerana dia telah bersedekah kepada seorang lelaki muslim dengan sepotong roti, maka Allah mengutus dua malaikat dari langit, sehingga mereka menangkap kami berdua dan melemparkan kami. Seorang dari kami dilemparkan ke dunia timur dan yang lain dilempar ke dunia barat dan dihalangilah usaha kami untuk mencelakakannya disebabkan sedekahnya.”

--------------------------------------------------------------------------------------------

Gadis Cantik dan Sepotong Roti

Diriwayatkan bahawa pernah terjadi musim kemarau di kalangan Bani Israil. Masuklah seorang fakir di depan pintu seorang kaya seraya berkata, “Berilah sedekah kepadaku dengan sepotong roti untuk mencari redha Allah SWT.”
Puteri dari orang kaya itu keluar membawa roti yang masih hangat dan diberikannya kepada orang fakir itu. Lalu datanglah orang kaya yang celaka dan dipotongnya tangan puterinya.

Lalu Allah SWT merubah keadaannya dan menghilangkan semua hartanya. Jadilah dia fakir dan meninggal dalam keadaan hina. Sedang puterinya berkeliling dari pintu rumah ke pintu yang lain dengan meminta-minta. Dia seorang gadis yang cantik jelita.

Suatu hari gadis itu datang di depan pintu seorang lelaki kaya. Keluarlah ibu lelaki itu dan dia memandang puteri itu dan memperhatikan kecantikannya serta menyuruhnya masuk ke dalam rumahnya. Dia merasa tertarik dan ingin mengahwinkan dengan anaknya. Setelah dia mengahwinkannya, dia menghiasinya dan menghidangkan di hadapannya sebuah hidangan pada malam hari. Puteri itu mengeluarkan tangannya sebelah kiri untuk makan bersama suaminya.

Melihat itu suaminya berkata, “Sungguh aku memang sering mendengar bahawa orang fakir adalah kurang pendidikan. Keluarkanlah tangan kananmu.”

Puteri itu tetap mengeluarkan tangan kirinya dan berkali-kali suaminya melarangnya. Terdengar satu suara dari sudut pintu, “Keluarkan tanganmu sebelah kanan, hai perempuan hamba Allah. Benar-benar engkau telah memberikan roti itu kepada Allah. Tentu Allah akan memberikan tanganmu kepada dirimu.”

Maka dikeluarkannya tangan kanannya dalam keadaan utuh berkat kekuasaan Allah SWT dan makanlah dia bersama suaminya.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Tukang Batu dan Doa Seorang Abid

Diriwayatkan bahawa Nabi Isa a.s pernah berjalan di sebuah desa. Di desa itu hidup seorang tukang batu. Berkatalah penghuni desa itu kepada Nabi Isa a.s: “Tukang batu itu selalu menahan air, meludahinya dan mengotorinya. Maka berdoalah kepada Allah agar dia tidak membuatnya dapat pulang dari tempat mana saja dia berada.” Lalu Nabi Isa a.s berdoa: “Ya Allah, kirimkan seekor ular kepadanya dan janganlah engkau kembalikan dia.”

Tukang batu pergi untuk mengambil batu-batu dekat sumber mata air dan dia membawa tiga potong roti. Setelah dia berada di mata air itu, ada seorang ahli ibadah (abid) datang menghampirinya. Abid itu selalu beribadah di atas gunung di dekat mata air. Abid itu mengucapkan salam seraya berkata: “Apakah ada sedikit makanan yang dapat engkau berikan padaku atau engkau memperlihatkan kepadaku sehingga aku dapat melihatnya atau mencium baunya. Kerana aku sudah tidak makan apapun sejak sekian hari.”

Diberikannya sepotong roti, maka berkatalah Abid itu: “Hai tukang batu, mudah-mudahan Allah mengampuni dosamu dan membersihkan hatimu.”

Maka diberikannya roti yang kedua dan berkatalah Abid: “Hai tukang batu, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu atau yang datang kemudian.”

Diberikannya lagi roti yang ketiga kalinya dan berkatalah Abid: “Hai tukang batu, semoga Allah membangun sebuah rumah untukmu di syurga.”

Tukang batu itu pulang ke desanya, dan para penghuni desa itu berkata kepada Nabi Isa a.s: “Tukang batu itu ternyata kembali lagi.”

Berkatalah Nabi Isa a.s: “Panggillah dia ke sini.”

Mereka memanggil tukang batu itu dan membawanya ke hadapan Nabi Isa a.s. Nabi Isa a.s berkata: “Hai tukang batu, ceritakanlah padaku apa yang engkau kerjakan hari ini dari amal-amal kebaikan.”

Maka tukang batu itu menceritakan tentang air, roti yang diberikannya dan doa-doa Abid untuk dirinya. Nabi Isa a.s berkata: “Bawa kemari begmu itu.” Diberikannya beg itu kepada Nabi Isa dan Nabi Isa pun membukanya. Tiba-tiba dalam beg itu terdapat seekor ular hitam yang dibelenggu dengan rantai besi. Berkatalah Nabi Isa a.s: “Hai ular hitam.”

Tiba-tiba ular itu menjawab: “Ya, wahai Nabi Allah.”

Nabi Isa a.s berkata lagi: “Bukankah engkau telah dikirim kepada orang ini?”

Ular itu berkata: “Benar, tetapi datang seorang ahli ibadah dari gunung itu, dia minta makan dan orang ini memberinya makan. Maka didoakanlah orang ini hingga tiga kali dan di sampingnya berdiri malaikat yang mengaminkan doa itu. Maka Allah mengutus malaikat dan membelengguku dengan rantai dari besi.”

Berkatalah Nabi Isa a.s pada: “Hai tukang batu, mulalah beramal kerana Allah telah mengampunimu dan menunjuki jalan kebaikan kepadamu.”

---------------------------------------------------------------------------------------------

Gara-gara Bubur Kental

Diriwayatkan bahawa Junaid Al-Baghdadi setelah wafat, kedudukannya digantikan oleh seorang lelaki yang bernama Muhammad Al-Hariri. Dia telah bermukim di Makkah setahun dengan tidak pernah berbuka (selalu berpuasa) dan tidak tidur, tidak menyandarkan punggungnya pada dinding dan tidak pernah menjulurkan kedua kakinya.
Setelah umurnya mencapai enam puluh tahun dia duduk pada maqam wali Quthub. Maka ada orang bertanya kepadanya, “Keajaiban manakah yang pernah engkau lihat?”

Dia menjawab, “Ketika aku sedang duduk di sebuah sudut, tiba-tiba seorang pemuda datang masuk dengan tidak bertudung kepala, tidak beralas kaki, rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Dia mengambil air wuduk dan mengerjakan solat dua rakaat. Kemudian menyembunyikan kepalanya ke dalam kerah bajunya hingga tiba waktu Maghrib. Lalu dia mengerjakan solat Maghrib bersama kami. Kemudian menyembunyikan kepalanya lagi ke dalam kerah bajunya.

Secara kebetulan pada malam itu ada jemputan dari Khalifah Baghdad untuk orang-orang sufi supaya memberikan nasihat, maka kami bermaksud keluar untuk memenuhi jemputan itu. Aku berkata pada pemuda fakir itu, “Hai seorang fakir, apakah engkau mahu keluar bersama kami untuk memenuhi jemputan Khalifah?”

Dia menjawab, “Aku tidak mempunyai keperluan dengan Khalifah. Tetapi aku hanya menginginkan engkau membawakan bubur kental untukku.”

Berkatalah aku dalam hati, “Dia tidak sependapat dengan aku untuk memenuhi undangan dan dia hanya ingin sesuatu dariku. Lalu aku meninggalkannya dan datang di majlis Khalifah. Kemudian aku datang lagi di sudut tempatku yang biasa. Aku melihat pemuda itu seolah-olah dia sedang tidur. Maka aku pun tidur. Dalam tidur itu aku bermimpi melihat Rasulullah SAW bersama dua orang tua yang bersinar wajahnya, sedang di belakang baginda ada serombongan besar yang bersinar seluruh wajahnya.

Ada orang mengatakan kepadaku, “Ini adalah Rasulullah, di sebelah kanannya adalah Nabi Ibrahim Khalilullah dan di sebelah kirinya adalah Nabi Musa Kalimullah. Sedang rombongan di belakangnya adalah seratus dua puluh empat ribu Nabi salawatullaahi ‘alaihim ajma’in.”

Menghadaplah aku kepada Rasulullah SAW untuk mencium tangannya, tetapi baginda memalingkan wajahnya dariku. Kemudian aku berbuat demikian untuk kedua dan ketiga kalinya dan baginda tetap memalingkan wajahnya dariku. Bertanyalah aku, “Ya Rasulullah, kesalahan apakah yang aku lakukan? Mengapa engkau memalingkan wajahmu dariku?”

Baginda memandangku dengan wajah yang memerah seperti yaqut merah kerana mulianya. Baginda bersabda, “Ada seorang fakir dari orang-orang fakir kami menginginkan bubur kental darimu, tetapi engkau kikir dan engkau biarkan dia dalam keadaan lapar pada malam ini.”

Terbangunlah aku dengan ketakutan dan gementar seluruh persendianku. Lelaki muda itu telah pergi dan aku tidak dapat menjumpainya di tempatnya yang biasa. Maka aku pun keluar dan tiba-tiba aku melihat pemuda itu sedang bersiap sedia hendak pergi. Aku berkata, “Hai pemuda, demi Allah yang telah menciptakan engkau, bangunlah sesaat hingga aku datang kepadamu dengan bubur kental.”
Tetapi pemuda itu memandangku dengan tersenyum. Dia berkata, “Hai Syeikh, siapa yang menginginkan sesuap bubur kental dari engkau? Lalu bagaimana engkau dapat bertemu dengan seratus dua puluh empat ribu Nabi yang datang kepadamu dengan memberikan syafaat untuk sesuap bubur kental?” Dia berkata begitu lalu menghilang.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Nabi Daud as Sangat Takut Kepada Allah SWT


Diriwayatkan oleh Mujahid: “Nabi Daud as. menangis selama 40 hari dalam sujud tanpa mengangkat kepala sehingga tumbuh lumut-lumut dari titisan air matanya, beliau juga menutup mukanya disebabkan kesalahan yang telah dilakukannya.”

Lalu kedengaran suara yang berkata: “Wahai Daud, apakah kamu lapar, kalau kamu lapar kamu akan diberi makan. Kalau kamu haus kamu akan diberi minum, kalau kamu tiada pakaian kamu akan diberi pakaian.”
Apabila Nabi Daud mendengar suara itu maka beliau pun memekik dengan pekikkan yang sungguh kuat sehingga kayu yang basah menjadi kering dan terus terbakar disebabkan takutnya kayu itu.

Kemudian Allah SWT menerima taubat Nabi Daud, lalu Nabi Daud berdoa: “Wahai Tuhanku! Jadikanlah kesalahanku ditulis dalam tapak tanganku.” Maka tertulislah kesalahan Nabi Daud ditapak tangannya. Nabi Daud tidak membuka tapak tangannya walaupun ketika hendak makan, minum atau untuk keperluan lain. Setiap kali Nabi Daud melihat kesalahan yang tertulis di tangannya beliau akan menangis.”

Mujahid meneruskan ceritanya lagi: “Dibawakan kepada Nabi Daud gelas yang mengandungi 2/3 air untuk diminum, apabila Nabi Daud meletakkan gelas pada bibirnya maka terpandanglah beliau akan kesalahan yang tercatit di tangan beliau. Lalu menangislah Nabi Daud sehingga gelas tadi dipenuhi dengan air matanya.”

Diriwayatkan bahawa Nabi Daud tidak mengangkat kepalanya memandang ke langit sehingga beliau wafat, ini adalah kerana malunya beliau kepada, Allah SWT.

Dalam munajatnya Nabi Daud as. pada Allah SWT, beliau berkata: “Wahai Tuhanku! Apabila aku mengingatkan kesalahanku, maka sempitlah bumi ini bagiku. Apabila aku ingat kepada rahmatMu maka kembalilah nyawaku. Mahasuci Engkau wahai Tuhanku, Engkau datangkan doktor-doktor hamba Engkau untuk mengubati kesalahanku. Kesemua mereka menunjukkan aku kepada Engkau. Maka celakalah bagi orang-orang yang berputus asa dari rahmat Engkau.”

Pada suatu hari Nabi Daud telah mengingati dosanya, beliau pun melompat dengan meletakkan tangannya ke atas kepala lalu berlari sehingga sampai di bukit. Kemudian berkumpullah binatang buas mengadapnya. Berkata Nabi Daud as. pada binatang-binatang itu: “Baliklah kamu semua, aku tidak memerlukan kamu semua. Sesungguhnya yang aku kehendaki ialah, setiap orang hendaklah menangis di atas kesalahan mereka itu, dan setiap yang melakukan kesalahan pada Allah hendaklah menangis.”

Berkata Nabi Daud as. “Tinggalkan aku, biar aku menagis sebelum hari tangisan. Sebelum datang hari di mana tulang-belulang aku dihancurkan dan dibakarnya perutku, dan sebelum disuruh kepadaku oleh para malaikat yang bersikap kasar dan keras. Mereka itu tidak sekali-kali menderhakai Allah dan mereka itu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah ke atas mereka.”

Abdul Aziz bin Umar berkata: “Ketika Nabi Daud as. telah membuat kesalahan maka kuranglah merdu suaranya, lalu beliau berdoa: “Wahai Tuhanku! Benarkanlah suaraku dalam kebersihan suara orang-orang shiddiq.”
Dikisahkan bahawa apabila Nabi Daud telah lama benar menangis, tangisannya itu tidak mendatangkan faedah, maka sempitlah baju besinya dan sangat susah benarlah hatinya. Kemudian beliau berdoa: “Wahai Tuhanku! Apakah Engkau tidak mengasihani akan tangisanku?”

Lalu Allah SWT berfirman: “Wahai Daud! Kamu lupa akan dosa kamu dan kamu ingatkan tangisanmu itu.”
Berkata Nabi Daud as. “Ya Tuhanku dan Penghuluku! Bagaimana hendak aku lupakan dosaku apabila aku membaca kitab Zabur, nescaya ia mencegah air yang mengalir dari mengalir. Menenangkan hembusan angin, dan burung menaungi atas kepalaku. Aku menjinakkan binatang-binatang liar di tempat sembahyangku. Wahai Tuhanku dan Penghuluku! Apakah keliaran ini yang ada di antaraku dengan Engkau?”

Kemudian Allah SWT berfirman: “Wahai Daud! Itu adalah kejinakkan taat dan ini keliaran maksiat Wahai Daud! Adam itu makhluk dari ciptaanKu, Aku ciptakan dia dengan tangan (kekuasaan) Ku, Aku hembuskan padanya rohKu dan Aku suruh para malaikatKu sujud kepadanya. Dengan mahkota kemuliaanKu Adam mengadu kepadaKu kerana keseorangan, kemudian Aku kahwinkan dia dengan Hawa hamba wanitaKu dan aku tempatkan dia dalam syurgaKu. Setelah itu dia telah berbuat maksiat kepadaKu, lalu Aku usir dia dari tetanggaKu dengan tidak berpakaian (telanjang) dan hina. Wahai Daud! Dengarlah dari Aku yang benar Aku firmankan, engkau minta kepada Kami, Kami berikan kepada engkau. Engkau berbuat maksiat kepada Kami, kami perlambat-lambatkan kepada engkau. Dan kalau engkau kembali kepada Kami nescaya Kami terima engkau.”

Diriwayatkan bahawa apabila Nabi Daud hendak menangis maka dia tidak akan makan dan minum selama seminggu, dan akan keluar beliau ke tanah lapang. Beliau menyuruh anaknya Sulaiman supaya menyeru kepada semua yang ada dalam semak, bukit-bukau, gunung-ganang dan di mana sahaja supaya datang untuk mendengar ratapan Nabi Daud as.

Setelah nabi Sulaman as. menyampaikan berita tersebut maka datanglah binatang-binatang buas, binatang-binatang yang menjalar, burung-burung, anak-anak gadis dan orang ramai dari seluruh pelusuk. Kemudian Nabi Daud naik atas mimbar dan beliau dikelilingi oleh Bani Israil (kaum Yahudi).

Lalu Nabi Daud as. memuji Allah SWT. Kemudian gemparlah mereka semua dengan tangisan dan pekikan. Setelah itu Nabi Daud as. menceritakan tentang syurga dan neraka. Apabila terdengar sahaja tentang syurga dan neraka maka matilah setengah binatang-binatang yang menjalar, binatang liar, binatang buas dan manusia. Kemudian Nabi Daud as. menceritakan tentang huru-hara hari kiamat dan beliau sendiri menangis, maka di masa itu matilah segolongan makhluk Allah.

Apabila nabi Sulaiman as. melihat terlampau banyaknya yang mati maka beliaupun berkata: “Wahai ayahku! Ayah telah membinasakan para pendengar setiap kali syarahan. Kini telah banyak yang mati terdiri dari Bani Israil dan binatang-binatang.”

Kemudian Nabi Daud as. pun berdoa, dalam waktu beliau sedang berdoa itu tiba-tiba seorang hamba dari Bani Israil berkata: “Wahai Daud! Kamu terlalu cepat sangat meminta balasan dari Tuhanmu.”

Apabila Nabi Daud as. mendengar kata-kata hamba itu maka beliaupun jatuh tersungkur dan pengsan. Nabi Sulaiman yang menyaksikan peristiwa itu berkata: “Ketahuilah sesiapa yang berteman atau berkeluarga dengan Daud as. hendaklah mereka itu membawa Nabi Daud ke tempat tidurnya, sesungguhnya orang-orang yang bersama Daud as. itu telah mati disebabkan Nabi Daud menceritakan kepada mereka tentang syurga dan neraka.

Setelah Nabi Daud as. sedar dari pengsannya, beliau bangun berdiri dan meletakkan tangannya di atas kepala. Kemudian beliau masuk ke rumah tempat ia beribadah dan dikuncinya dari dalam dan beliau pun berdoa: “Ya Tuhanku! Adakah Engkau marah kepada-ku?” Begitulah Nabi Daud as. sentiasa bermunajat kepada Allah SWT.
Nabi Sulaiman datang menghampiri rumah tempat ayahnya beribadat, beliau meminta izin masuk. Setelah Nabi Daud as. mengizinkan anaknya masuk, Nabi Sulaiman membawa bersamanya roti untuk ayahnya.

Berkata Nabi Sulaiman: “Wahai ayahku, makanlah roti ini, mudah-mudahan akan menguatkan kesihatan ayah.”
Pada suatu hari Nabi Daud memberikan ceramahnya pada orang ramai, beliau banyak memberi nasihat supaya takutkan kepada Allah. Pada masa beliau memulakan ceramah terdapat 40,000 orang yang menghadiri majlis itu, oleh kerana para pendengar itu berasa cukup takut kepada Allah SWT maka 30,000 orang dari seramai 40,000 itu telah mati disebabkan takutnya mereka kepada Allah SWT. Akhirnya yang pulang bersama Nabi Daud as. cuma 10,000 orang sahaja.

Dikisahkan bahawa Nabi Daud ada dua orang hamba perempuan, apabila Nabi Daud merasa takut kepada Allah SWT maka kedua hamba itu akan naik duduk di atas dada dan di kaki Nabi Daud, ini adalah kerana khuatir anggota Nabi Daud akan cerai-berai oleh kerana takutnya ia kepada Allah SWT.

------------------------------------------------------------------------------------------

Anak Kecil Yang Takut Api Neraka


Dalam sebuah riwayat menyatakan bahawa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, sedang dia berjalan-jalan dia terpandang seorang anak kecil sedang mengambil wuduk sambil menangis.
Apabila orang tua itu melihat anak kecil itu menangis maka dia pun berkata: “Wahai anak kecil, kenapa kamu menangis?”

Maka berkata anak kecil itu. “Wahai pakcik, saya telah membaca ayat Al-Quran sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum” yang bermaksud “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu.” Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan kedalam neraka.”
Berkata orang tua itu. “Wahai anak, janganlah kamu takut sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalam neraka.”

Berkata anak kecil itu. “Wahai pakcik, pakcik adalah orang yang berakal, tidakkah pakcik lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali mereka akan meletakkan ran- ting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka meletakkan kayu besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa.”

Berkata orang tua itu, sambil menangis: “Sesungguhnya anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?”.

----------------------------------------------------------------------------------------

Tangisan Isam Bin Yusuf

Dikisahkan bahawa ada seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat khusyuk sembahyangnya. Namun demikian dia selalu khuatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih baik ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasanya kurang khusyuk.

Pada suatu hari Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Asam dan bertanya: “Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya tuan sembahyang?”

Berkata Hatim: “Apabila masuk waktu sembahyang, aku berwuduk zahir dan batin.”

Bertanya Isam: “Bagaimana wuduk batin itu?”

Berkata Hatim: “Wuduk zahir sebagaimana biasa, iaitu membasuh semua anggota wuduk dengan air. Sementara wuduk batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara:
* Bertaubat.
* Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.
* Tidak tergila-gila dengan dunia.
* Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia
* Meninggalkan sifat bermegah-megahan.
* Meninggalkan sifat khianat dan menipu.
* Meninggalkan sifat dengki.”

Seterusnya Hatim berkata: “Kemudian aku pergi ke Masjid, ku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan ku bayangkan pula bahawa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahawa sembahyang ku kali ini adalah sembahyang terakhir bagiku (kerana aku rasa akan mati selepas sembahyang ini), kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.
Setiap bacaan dan doa dalam sembahyang ku faham maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan tawaduk (merasa hina), aku bertasyahud (tahiyat) dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersembahyang selama 30 tahun.

Apabila Isam mendengar menangislah ia sekuat-kuatnya kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

------------------------------------------------------------------------------------------

Linangan Air Mata Kesyukuran Abu Darda

Abu Darda adalah salah seorang sahabat karib Nabi SAW. Beliau dianggap sebagai seorang sahabat yang sangat takwa kepada Allah SWT. Dia sangat berendah hati dan zuhud terhadap kemewahan dunia. Sebagai seorang sahabat besar, Abu Darda banyak memperolehi hadith-hadith dari Rasulullah SAW.

Pada suatu hari diriwayatkan Abu Darda telah mendapat berita tentang kampung halamannya telah terbakar. Menurut berita yang diterima melalui seorang sahabat beliau bahawa rumahnya juga telah turut terbakar. Bagaimana pun Abu Darda yang teguh iman itu tidak berasa terkejut mendengar berita itu. Dia kelihatan tenang menerimanya, seolah-olah tidak ada suatu pun yang berlaku ke atas dirinya.

Bahkan beliau tidak sedikit pun tergesa-gesa untuk pulang melawat rumahnya yang telah hangus. Sebaliknya Abu Darda menyelesaikan dahulu segala kerjanya. Setelah selesai baharulah dia berangkat menuju ke kampungnya untuk melihat kebakaran itu. Dalam perjalanan itu Abu Darda hanya bertawakal sahaja kepada Allah kerana kepada Dia sajalah kita berserah malah Dia berkuasa ke atas setiap sesuatu.

Sebaik saja dia sampai di kampungnya dia mendapati ke semua rumah orang-orang kampungnya telah hangus terbakar. Atas kebesaran dan kehendak Allah yang Maha Berkuasa rumah Abu Darda tidak langsung terjejas dan di makan oleh api. Dengan linangan air mata Abu Darda menadahkan tangannya ke hadrat Ilahi sambil mengucapkan syukur.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Keajaiban yang Mengiringi Kelahiran

Awan gelap Jahiliyah telah menutupi sepenuhnya Jazirah Arab. Perbuatan buruk dan haram, perang berdarah, perompakan, dan pembunuhan bagi memusnahkan seluruh kebajikan telah menyebabkan masyarakat Arab berada dalam situasi yang hina dan penuh kederhakaan. Pada waktu itulah muncul bintang pagi kemakmuran; suasana gelap itu kini disinari kelahiran Nabi Suci yang dinanti-nantikan. Mulalah langkah awal menuju pembangunan peradaban, kemajuan, dan kemakmuran bagi bangsa terbelakang ini. Segera cahaya ini menyinari seluruh dunia; asas-asas pengetahuan, kearifan, dan peradaban pun diletakkan.

Setiap lembaran kehidupan orang-orang besar layak dikaji dan diteliti dengan cermat. Kadang-kadang keperibadian seseorang demikian besar dan agung sehingga seluruh tahap kehidupannya, bahkan masa bayi dan kanak-kanaknya, menjadi misteri. Kehidupan orang-orang cerdas, pemimpin masyarakat dan pelopor kafilah peradaban, biasanya menarik dan mengandungi peristiwa-peristiwa aneh dan menakjubkan. Sejak lahir hingga mati, kehidupan mereka mengandungi misteri. Masa kanak-kanak dan remaja orang besar sungguh mengagumkan dan ajaib.

Taurat dan Al-Quran menggambarkan masa kanak-kanak Nabi Musa sebagai penuh misteri, dengan menyebutkan, “Ratusan anak tak berdosa dipancung supaya Musa tidak dilahirkan. Namun, kerana Allah menghendaki kemunculannya di dunia, maka bukannya musuhnya berbuat jahat kepadanya, malah Fir’aun sendiri, musuh terbesarnya, menjadi pengasuhnya.”

Al-Quran merakamkan, “Ketika Kami ilhamkan kepada ibumu (ibu Musa) suatu ilham, iaitu, Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ke dalam sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh musuh-Ku dan musuhnya (Fir’aun).” Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang-Ku, supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Iaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan lalu ia berkata (kepada keluarga Fir’aun), “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita .....”(Surah Thaha : 38-40)

Masa kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan Nabi Isa bahkan lebih ajaib lagi. Al-Quranul Karim menuturkan masa pertumbuhan Isa sebagai berikut:
“......Kami mengutus roh Kami (Malaikat Jibril) kepadanya (Maryam), maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia sempurna. Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki yang suci padahal tidak ada seorang manusia pun yang menyentuhku, dan aku bukan pula seorang penzina.’ Jibril berkata, ‘Demikianlah. Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.”

“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak bererti serta terlupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, nescaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka minum, makan, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar untuk berpuasa demi Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”

“Lalu Maryam membawa anak itu kepada kaumnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah penzina.”

“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?”

“Berkatalah bayi itu (Isa), ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Alkitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”(Surah Maryam : 17-30)

Bila orang yang beriman kepada Al-Quran dan Taurat, dan pengikut Nabi Isa, membenarkan fakta-fakta di atas berkaitan dengan kelahiran dua Nabi besar tersebut, seharusnya mereka tidak hairan terhadap peristiwa-peristiwa luar biasa yang menyertai kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kita ketahui dari sejarah dan hadis bahawa ketika Nabi Muhammad lahir, dinding istana Khosrow retak dan beberapa menaranya runtuh. Api kuil di Parsi padam. Tasik Sawah mengering. Berhala-berhala di Kaabah tumbang. Cahaya dari tubuh Nabi naik ke langit dan menerangi tempat-tempat yang dilaluinya. Anusyirwan dan pendita-pendita Zarahustra bermimpi yang menakutkan. Ketika lahir, Nabi suci itu sudah disunat dan pusatnya pun sudah dipotong. Saat lahir ke dunia, baginda berkata, “Allahu Akbar, Alhamdulillah, Dia-lah yang harus disembah siang dan malam.”

Semua keterangan ini disajikan dalam naskhah sejarah yang benar dan dalam koleksi hadis-hadis sahih.(Bihar Al-Anwar, XV, Bab 3, m.s. 231-248) Memperhatikan fakta-fakta menyangkut Nabi Musa dan ‘Isa, yang dikemukakan di atas, tak ada dasarnya untuk ragu dalam penerimaan kejadian-kejadian ini.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Tahun, Bulan, dan Tanggal Kelahiran Nabi Muhammad


Para penulis sirah (sejarah/biografi) Nabi umumnya sepakat bahawa Nabi Muhammad lahir di Tahun Gajah 570 M. Adalah pasti bahawa baginda kembali ke sisi Allah tahun 632 M. Bila saat itu usianya 62-63 tahun, bererti baginda lahir tahun 570 M.

Hampir semua ahli hadis dan sejarawan sepakat bahawa Nabi lahir di bulan Rabiulawal, walaupun mereka berbeza pendapat tentang tanggalnya. Ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jemaah sepakat bahawa baginda lahir pada hari Isnin, tanggal 12 bulan yang sama.

------------------------------------------------------------------------------------------

Memberi Nama kepada Nabi

Hari ketujuh telah tiba. Seekor domba disembelih Abd al-Muttalib sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada Allah. Sejumlah orang dijemput untuk menghadirinya. Di hari perayaan yang besar itu, dihadiri oleh kebanyakan orang Quraisy, ia menamakan cucunya “Muhammad”. Ketika ditanya mengapa ia menamakannya Muhammad padahal nama itu jarang dipakai orang Arab, ia menjawab, “Saya berharap ia terpuji di syurga mahupun di bumi.”

Dalam kaitan ini, Hasan bin Tsabit berkata, “Sang Khaliq mengambil nama Rasul-Nya dari nama-Nya sendiri. Dengan demikian, sementara Allah adalah Mahmud (terpuji), Nabi-Nya adalah Muhammad (patut dipuji). Kedua-dua kata ini diambil dari akar kata yang sama dan mengandungi makna yang sama pula”.

Pastilah bahawa ilham suci memainkan peranan dalam pemilihan nama ini, kerana walaupun nama “Muhammad” dikenali di kalangan orang Arab, hanya segelintir orang hingga waktu itu yang diberi nama yang sama. Menurut bancian yang pasti, yang dikumpulkan para sejarawan, hanya enam belas orang yang diberi nama ini sebelum Nabi.”

Hampir tak perlu dikatakan, semakin sedikit suatu kata digunakan, semakin kecil pula peluang salah faham tentang kata itu. Kerana Kitab-kitab Suci telah meramalkan kedatangan Islam berikut nama serta tanda-tanda rohaniah dan jasmaniah yang khusus dari Nabi, maka tanda-tandanya haruslah demikian jelas sehingga tidak muncul suatu kekeliruan. Salah satu tanda itu adalah nama Nabi. Penting bahawa nama itu harus dipakai oleh demikian sedikit orang sehingga tidak ada keraguan atas identitinya, khususnya bilamana sifat dan tanda-tandanya dicantumkan. Dengan begitu, orang yang kemunculannya telah diramalkan oleh Taurat dan Injil ini dapat dikenali dengan mudah. Al-Quranul Karim menyebut dua nama Nabi. Dalam surah Ali Imran ayat (138), Muhammad ayat (2), al-Fath ayat (29), dan al-Ahzab ayat (4), baginda disebut Muhammad, sedang dalam surah ash-Shaf ayat (6), baginda disebut Ahmad. (Perbezaan ini, sebagaimana dicatat sejarah, adalah kerana ibunda Nabi sudah menamainya Ahmad sebelum datuknya menamai Muhammmad).

-----------------------------------------------------------------------------------------------

Masa Menyusui Nabi

Nabi disusui ibunya hanya selama tiga hari. Selepas itu, dua wanita lain mendapat kehormatan menjadi ibu susunya.

a. Suwaibah: wanita hamba sahaya Abu Lahab.

Ia menyusui Nabi selama empat bulan, dan kerap mendapat pujian Nabi dan isterinya yang soleh, Khadijah, sepanjang hidupnya. Setelah dilantik sebagai Nabi, Nabi berniat membelinya. Baginda mengirim seseorang menghadap Abu Lahab untuk mengadakan tawar-menawar, namun Abu Lahab menolak menjualnya. Bagaimanapun, Suwaibah menerima bantuan dari Nabi sepanjang hidupnya. Sekembalinya Nabi dari Perang Khaibar, berita kematian Suwaibah sampai kepada baginda. Tanda kesedihan terlihat di wajahnya. Baginda mencari putera Suwaibah, dengan maksud memberi bantuan, tapi baginda dilaporkan bahawa anak Suwaibah juga sudah meninggal lebih dahulu.

b. Halimah: puteri Abi Zuwaib dari suku Sa’ad bin Hawazan. Ia mempunyai tiga anak: Abdullah, Anisah, dan Syima’. Syima’ juga turut mengasuh Nabi.

Sudah menjadi kebiasaan, keluarga bangsawan Arab mempercayakan anak-anaknya kepada wanita penyusu. Biasanya para ibu susu itu tinggal di luar kota, sehingga anak-anak dapat dibesarkan di udara gurun yang segar serta tumbuh kuat dan sihat. Selain itu, di persekitaran gurun, anak-anak juga tak mudah ketularan penyakit seperti di kota Makkah. Mereka juga dapat belajar bahasa Arab di kawasan yang masih asli ini. Para penyusu suku Bani Sa’ad sangat terkenal di kawasan ini. Mereka mengunjungi Makkah pada waktu-waktu tertentu, lalu masing-masing membawa pulang seorang bayi.

Empat bulan selepas kelahiran Nabi, ibu-ibu penyusu Bani Sa’ad mengunjungi Makkah. Tahun itu mereka sedang mengalami kemarau yang teruk, sehingga sangat memerlukan pertolongan keluarga-keluarga bangsawan.
Bayi Quraisy yang baru lahir itu tidak mahu mengisap buah dada wanita penyusu mana pun. Kebetulan Halimah datang dan anak itu pun menyusu padanya. Keluarga Abd al-Muttalib sangat gembira. Abd al-Muttalib berkata kepada Halimah, “Engkau dari suku mana?” Jawabnya, “Dari suku Bani Sa’ad”. Lalu Abd al-Muttalib menanyakan namanya. Abd al-Muttalib sangat gembira mengetahui nama dan sukunya seraya berkata. “Bagus! Bagus! Dua kebiasaan yang baik dan dua sifat yang mulia. Yang satu kebahagiaan dan kemakmuran, dan yang lainnya kelembutan dan kesabaran.”

--------------------------------------------------------------------------------------------

Masa Kanak-Kanak Nabi

Sejarah meriwayatkan bahawa kehidupan Nabi penuh peristiwa menakjubkan sejak masa awal masa kanak-kanak hingga kerasulannya. Semuanya mengandungi aspek kebesarannya. Keseluruhannya menunjukkan bahawa kehidupan Nabi tidaklah biasa.

Kini kita tampilkan dua kejadian dari sejarah hidup Nabi yang misteri dan ajaib. Bila kisah ini dihayati, maka ianya adalah meyakinkan kita tentang kebesaran dan kemuliaan Nabi SAW.

a. Halimah berkata: “Ketika memikul tanggungjawab membesarkan bayi Aminah, saya memutuskan menyusui sang bayi di situ juga di hadapan ibunya. Saya masukkan puting buah dada kiri yang berisi susu ke mulutnya, tetapi si bayi lebih suka susu sebelah kanan. Padahal buah dada kanan itu tak ada susunya sejak kelahiran anak saya yang pertama. Kerana desakan si bayi, saya menyusuinya dengan sebelah kanan yang kosong itu dan, sebaik saja ia menghisap, sumber yang kering itu pun berisi penuh susu. Kejadian itu membuat semua yang hadir kehairanan.”

b. Halimah juga mengatakan: “Sejak membawa Muhammad ke rumah, saya menjadi lebih makmur. Harta dan ternak saya meningkat.”

Kita dapati peristiwa serupa dalam Al-Quranul Karim berkaitan dengan Maryam (ibunda Nabi Isa). “Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berguna serta terlupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu dan goyanglah pangkal pohon kurma ke arahmu, nescaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”(Surah Maryam : 23-25)

Memang terdapat perbezaan besar antara Maryam dan Halimah dari sisi kedudukannya, dan perbezaan serupa juga ada di antara dua bayi itu. Namun, jika martabat dan keunggulan peribadi Maryam menjadikannya memperolehi rahmat Ilahi, maka tidak mustahil kedudukan dan darjat si bayi Muhammad di kemudian hari menjadikan ibu susunya layak mendapat kurnia Allah.

Lebih jauh kita ketahui tentang Maryam dari Al-Quran. Kesucian dan kesolehannya telah mengangkatnya sedemikian rupa sehingga, “Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Dari mana kamu memperolehi (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘makanan itu dari sisi Allah.”(Surah Ali Imran : 37)

Berdasarkan ini, tidak seharusnya kita ragu akan kebenaran mukjizat Nabi, apalagi menganggapnya mustahil.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Lima Tahun di Gurun

Nabi tinggal selama lima tahun bersama suku Bani Sa’ad dan tumbuh sihat. Selama itu, ada dua atau tiga kali Halimah membawanya menemui ibunya.

Kali pertama Halimah membawanya kepada ibunya adalah ketika masa menyusuinya selesai. Namun, Halimah mendesak Aminah untuk mengembalikan anaknya kepadanya. Alasannya, anak itu telah menjadi sumber kurnia dan rahmat baginya. Alasan ibunya mengabulkan permintaan Halimah adalah lantaran wabak penyakit sedang melanda Makkah waktu itu.

Kali kedua Halimah membawa Muhammad ke Makkah bertepatan dengan datangnya sekumpulan pendita dari Etiopia di Hijaz. Mereka melihat anak itu di kalangan suku Bani Sa’ad. Mereka mendapatkan bahawa semua tanda Nabi yang akan datang sesudah Nabi Isa, sebagaimana disebutkan dalam Kitab-kitab Suci, ada pada anak itu. Kerana itu, mereka memutuskan untuk menguasai anak itu bagaimanapun caranya, dan akan membawanya ke Ethiopia, supaya negeri itu memperolehi kehormatan mempunyai Nabi.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, tanda-tanda Nabi Muhammad telah diceritakan dalam Injil. Oleh itu, sangatlah wajar bila para pendita waktu itu dapat mengenali orang yang tanda-tandanya lengkap. Al-Quran mengatakan dalam kaitan ini. “Dan ingatlah ketika Isa Putera Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, iaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang rasul sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).’ Tapi tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.”Suarh Ash-Shaf : 6.

Ada lagi ayat lain yang menunjukkan dengan jelas tanda-tanda Nabi Muhammad di dalam Kitab-Kitab Suci, dan orang-orang terdahulu mengetahui hal itu dalam Surah Al-A'raf : 157.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Tiada ulasan:

Catat Ulasan